Surat
dari Praha, renungan dalam sebait nada. Film dengan durasi 93 menit ini,
berhasil menghantui saya di setiap tidur. Nada dari film ini tak henti-hentinya
mengalun indah di dalam otak. Saya menemukan keindahan dari film ini, bukan
hanya dalam bentuk visual. Tapi, juga keindahan yang benar-benar bisa dirasakan
oleh hati. Keindahan yang sederhana, keindahan yang diciptakan oleh dua tokoh
utama Kemala Dahayu Larasati – Teratai yang cantik (Julie Estelle) dan Mayadi
Jayasri (Tio Pakusadewo). Chemistry keduanya bagai ombak di lautan yang menyatu
dan tak terlepaskan. Meskipun bagi saya akting mereka berdua lebih kearah tekstual
dibanding nature, tapi tak jadi soal. Dalam bentuk akting tekstual pun mereka
berdua tetap bermain apik. Saya benar-benar dimanjakan oleh tontonan yang
berkelas.
Film
yang memperlihatkan perbedaan 2 zaman antara sifat orde lama yang keras tapi
perhatian seperti Jaya saat menyuruh Laras tidur di sofa tapi memberikan
selimut, yang keras tapi diam-diam menyuruh teman baiknya memberikan Laras
pakaian, yang keras tapi mau menghantarkan Laras pergi ke KBRI. Dan sifat orde
baru yang dimiliki Laras, sikap antipati terhadap sesuatu yang terjadi pada
diri Jaya, awalnya. Seseorang yang keras terhadap diri sendiri. Yang mewarisi
sikap Ibunya, Sulastri (Widyawati)
Keindahan
Praha di balut dalam kesederhanaan Sutradara: Angga Dwimas Sasongko yang tidak
punya nafsu berlebihan untuk memperlihatkan sudut-sudut kota Praha, berbeda
dengan film-film lain yang syuting di luar negeri. Yang bernafsu mengabadikan
sudut-sudut kota tanpa menyadari bahwa film berarti menjual cerita dalam bentuk
gambar bukan menjual gambar dalam bentuk cerita.
Warna
film yang menyatu dengan kota Praha, cokelat-abu. Kamera yang tak melulu statis,
bergerak natural seperti berasal dari getaran tangan DOP. Musik yang indah dan
cantik dari lagu-lagu Glenn Fredly memang jadi tumpuan keindahan film ini,
entah apa jadinya jika Surat dari Praha minus lagu-lagu dari Glenn. Melihat bagaimana penjelmaan karya Horper, Sang Pelukis realis di beberapa scene film bisa membuat penonton seakan melihat ide dan pemikiran-pemikiran dua manusia yang menjadi satu lewat warna khas Horper, yang direaliskan oleh Angga.
Angga
Sasongko memang sutradara muda yang berbakat, membuat film dengan kesederhanaan
yang benar-benar merasuk ke hati. Sejak Hari untuk Amanda, Cahaya Dari Timur:
Beta Maluku dan Filosofi Kopi, jika kita mengamati tiga film tersebut dan
membandingkannya dengan Surat dari Praha, ada beberapa kesamaan yang membekas
dan menunjukan bahwa itu adalah ciri khas dari Sang Sutradara: Angga Dwimas
Sasongko. Seperti: Pergerakan kamera yang statis—mengikuti tangan DOP dan
justru ada beberapa scene di film-film Angga, dimana kamera tidak mengikuti
pergerakan aktor. Juga stock shoot yang memperlihatkan jendela-jendela. Saya pun
sempat bertanya pada diri saya, apakah Angga Sasongko mencintai jendela? Atau paling
tidak suka dengan jendela?
Adegan
membayangkan di film Filosofi Kopi, ketika Ben melihat orangtuanya memetik biji
kopi, juga hampir mirip di film Surat dari Praha ketika Jaya membayangkan
Sulastri yang bermain piano di gedung opera, dan duduk berdua ketika Jaya
membaca surat dari Sulastri di akhir film. Dalam hal ini ciri khas dari
Sutradara adalah bentuk refleksi lain untuk suatu film.
Ciri
khas Angga Sasongko dalam membuat ending di film-filmnya ibarat perjalanan pulang.
Menghantarkan penontonnya, hanya sampai pada gerbang rumah tidak sampai masuk
rumah. Penonton dibiarkan menggantung menerka sendiri apa yang terjadi
setelahnya. Membiarkan penonton menggiring opininya sendiri. Ini sentuhan indah
dari Sang Sutradara yang jadi refleksi untuk suatu film.
Mendirect
hewan seperti Anjing dalam film juga bukan perkara yang mudah. Surat dari Praha
melakukannya dengan amat baik. Bagong benar-benar jadi bagian diri Jaya yang
merasa kesepian dan penyendiri. Saya suka raut wajah Bagong di ending film,
kesedihan sangat tampak di wajah Bagong, seperti kelelahan ketika mengikuti
Laras pergi lalu melapor pada Sang Majikan, sekilas saya melihat Bagong
benar-benar menangis. Bravo, Bagong! Hal ini juga menjadi kelebihan tersendiri
untuk Surat dari Praha dibandingkan film-film lain.
Sangat
membanggakan jika kita tahu bahwa Surat dari Praha dibuat hanya selama 11 hari,
yang notabene untuk sebuah film, ini jangka waktu yang terbilang sebentar.
Tapi, berhasil menghasilkan tontonan yang nyaris sempurna untuk tiket bioskop
Indonesia yang bisa dibilang murah. Riset yang lama sejak Cahaya Dari Timur
dibuat, memang jadi titik tumpu yang amat kuat di Surat dari Praha. Buah
pemikiran yang bisa dibilang jenius dengan riset yang cukup lama, berarti para
pembuatnya sadar betul apa yang harus dilakukan ketika proses produksi film
berlangsung. Efisisensi waktu toh tidak jadi penghalang untuk film ini.
Surat
dari Praha, renungan dalam sebait nada. Kita menyadari betul bahwa berdamai
dengan masa lalu adalah sebuah keharusan. Film ini menunjukannya dengan amat
jelas, ketika Laras memberikan Jaya satu tiket pulang ke Indonesia, Jaya
menolaknya mentah-mentah dan mengatakan bahwa Laras Egois. Dan Laras pun
menjawab: “Jangankan ngiklasin apa yang terjadi, memaafkan diri sendiri aja
anda nggak bisa.”
Angga
Sasongko tidak memaksa penonton untuk tahu bahwa Jaya dan Laras saling jatuh
cinta di film ini. Semuanya mengalir apa adanya, penonton akan merasakan
sendiri bahwa mereka berdua memang saling mencintai pada akhirnya. Bahwa dari
tatapan mereka berdua saja lebih berkata dari sekedar kata-kata. Ini menariknya
film ini, A Love Story yang membawa penontonnya masuk dalam-dalam diantara
kedua tokoh yang sedang berkonflik. Merasakan bahwa mencintai dan nafsu untuk
memiliki adalah dua hal yang berebeda.
Editing
yang selaras antara rekaman dan musik yang live mengingatkan saya pada film
Whiplash karya sutradara muda Damien Chazelle yang memenangkan Best
Sound Mixing dan Best Film Editing dalam Ajang The Academy ke- 87. Saya juga
percaya Surat dari Praha akan membawa banyak penghargaan meskipun saya yakin
tujuan pembuatan film ini bukan untuk mendapatkan banyak pengharagaan. Tapi,
setidaknya film ini sangat pantas untuk mendapatkan gelar Film Terbaik meskipun
terlalu dini untuk mengatakan hal ini.
Surat dari Praha, renungan dalam sebait
nada. Juga tak melulu mulus dalam perjalanannya, diisukan hasil plagiat dari
Kumpulan Cerpen karya Yusri Fajar yang berjudul sama. Tapi tenang, ketika anda
membaca review ini saya sudah membaca kumpulan cerpen karya Yusri Fajar sejak
2013 lalu dan tentu saja sudah menonton filmnya. Diluar judul dan kesamaan
tempat yaitu Praha, kedua hal ini sangat berbeda, bahkan jauh berbeda. Bahkan
garis besar ceritapun sangat berbeda.
Buku
kumpulan cerpen Surat dari Praha karya Yusri Fajar berisi 12 cerita pendek yang
salah satunya dipilih menjadi judul bukunya. Cerpen Surat Dari Praha bercerita
tentang Marwo dan Pavla. Marwo adalah pria asal magelang yang memiliki restoran
sate di Praha. Marwo datang ke Praha pada awal tahun enam puluhan untuk menjadi
mahasiswa jurusan ilmu politik. Di Praha, Marwo berkenalan dengan Pavla. Pavla
adalah mahasiswi dari Praha yang menempuh jurusan teater. Tentu jelas berbeda, latar waktunya saja
berbeda. Jadi jelas, tidak ada unsur plagiarisme dalam film Surat dari Praha.
Jika anda sudah membaca cerpen dan menonton filmnya, anda pasti setuju dengan
saya. Dan ingat, hak cipta sebuah buku adalah untuk melindungi kontennya alias
isinya bukan judulnya.
Surat dari Praha, renungan dalam sebait
nada. Film yang Indah, cantik, menghantui, menginspirasi, menggairahkan,
membahagiakan dan PAS!! #BanggaFilmIndonesia
(Skor: 4,5/5)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar