Wednesday, March 30, 2016

ES DOGER MAK JUL


Honda Jazz silver yang terparkir di halaman gedung fakultas hukum, bergoyang. Seorang sekuriti memeriksa dengan senter bercahaya kuning—oranye di tangan kanannya. Sekuriti itu mengarahkan senter ke kaca depan mobil. Terlihat punggung seseorang di kursi kemudi dengan rambut yang terkuncir. Cahaya senter memperjelas lekuk tubuh seorang wanita yang sedang melepas kait bra hitam.

------

Ada yang sulit diperjelas dari kisah cinta. Bagaimana cara mereka terbentuk, mereka tumbuh dan mereka berakhir. Julia Asna Maurisa merasakan apa yang orang sebut dengan jatuh cinta. Rasanya seperti patah hati yang dibumbui dengan aroma yang mengundang. Tidak ada bedanya.

Kemarin, Julia mendengar kabar yang jelas tidak mengenakkan. Seorang sekuriti menemukan Haris Alif Bardja bercinta di dalam mobilnya dengan Gladys Sania Maharatni. Dosen cantik berumur 28 tahun. Dosen yang terkenal dikalangan mahasiswa-mahasiswa nakal. Caranya menatap seseorang dengan menggigit bibirnya, caranya mengedipkan mata, telah membuat banyak orang terpesona dengan kecantikannya.

------

“Jadi bener, kabar tentang Haris?” Seorang teman bertanya pada Julia.

Julia masih melamun, di sudut lorong gedung fakultas hukum. Pertanyaan dari temannya beterbangan entah kemana. Seorang teman yang mengerti banyak tentang Julia. Maurice, namanya. Bulir air mata Julia jatuh membasahi celananya. Maurice duduk mendekati Julia, merangkul Julia, mengelus halus pundaknya. Julia bersandar pada pundak Maurice. Tangisnya menjadi penghalang kata yang hendak keluar.

“Gila ya…” Kalimat Maurice terputus, melongo melihat Haris dan Gladys dalam satu mobil yang hendak diparkirkan di halaman gedung. Mereka saling mengecup bibir setelah mobil terparkir dan hendak keluar. Haris menatap Maurice dan Julia yang duduk berdampingan setelah menutup pintu mobil.

Haris dan Gladys bergandengan tangan seperti sepasang mempelai yang berjalan di karpet merah dalam pernikahan yang serba mewah. Mereka berlalu tanpa mempedulikan Maurice dan Julia.

“Gila ya, Bu Gladys itu kan udah punya suami.”

“Dan satu anak, umur satu tahun,” Seorang pria tiba-tiba duduk di sebelah Maurice.

“Eh Jo, darimana?” Tanya Maurice menatap Johan, seorang pria yang diam-diam mencintai Julia. Seorang pria yang tidak pernah lelah menunggu. Seorang pria yang dicintai Maurice.

“Tadi ada kelas, baru kelar,” Johan melirik Julia bertanya pada Maurice dengan tatapan yang membuat alisnya naik-turun.

“PMS, biasa perempuan,” jawab Maurice sok asik.

“Nggak pinter bohong kamu, Maurice.”

“Rumahku kebanjiran, Jo” Jawab Julia, bangkit dari pundak Maurice dan mengusap wajahnya yang dipenuhi air mata. Johan dan Maurice menahan tawa.

“Kenapa Mak Jul? Soal Haris lagi?” Tanya Johan dengan menahan sakit karena Maurice mencubit kakinya.

“Mak Jul, kaya nama penjual es doger depan kampus aja,” Jawab Julia, tertawa pelan.

“Nah pas, siang-siang gini minum es doger,” Maurice menawari.

“Ayo-ayo aja mah kalo aku, Mak Jul gimana? Mau nggak?” Tanya Johan.

“Yaudah ayo,” Julia bangkit berdiri, diikuti Johan dan Maurice.

“Tunggu, aku ambil mobil dulu,” Kata Maurice, mencari kunci di kantong Jeansnya.

“Yaelah, Cuma di depan aja. Jalan kaki-lah sekali-kali,” Jawab Johan.

“Iya Maurice nih, habisin bensin aja, mending dipake buat malam mingguan bareng Bagas,” Ledek Julia.

“Bagas udah ke laut, ngambang!!” Jawab Maurice.

Johan dan Maurice, dua orang yang mewarnai hidup Julia. Julia, Maurice dan Johan sama-sama tahu ada perasaan diantara mereka bertiga. Tapi, mereka memilih diam dan tidak membahasnya. Johan mencintai Julia, Maurice mencintai Johan. Julia memilih tidak menanggapi perasaannya atas Johan. Demi menjaga hubungannya dengan Maurice. Mereka bertiga adalah bukti bahwa status bukan hal yang harus dicari dan dipertanyakan apalagi didapatkan. Status hanya membuat orang-orang mati rasa.

------

Julia dan Haris belum resmi berpisah. Tapi, kabar putusnya hubungan mereka sudah menyebar ke seluruh kampus. Haris dan Gladys sudah tidak malu untuk menunjukkan kemesraannya di depan orang-orang. Haris yang menjadi idola banyak mahasiswi-mahasiswi nakal semakin percaya diri karena berhasil mengalahkan mahasiswa lain yang juga mengincar sensualitas Gladys Sania Maharatni. Haris menghiraukan teman-temannya yang mengatakan bahwa Gladys telah memilikki Suami dan seorang Anak. Haris mengetahuinya, Suami Gladys yang bekerja sebagai petroleum engineer membuatnya jarang pulang. Hanya beberapakali dalam setahun.

“Mak Jul!! Es doger tigaaa,” Suara Johan membuat orang-orang yang ada di lapak es doger Mak Jul menatapnya.

“Huss, berisik ah,” Kata Maurice, menjambak rambut Johan.

Julia hanya terkekeh melihat kelakuan Maurice dan Johan. Mereka duduk bersamaan dengan mengeluarkan ponselnya masing-masing.

“Yuk, dikumpulin, aku yang paling bawah, Maurice paling atas,” Kata Johan, menumpuk ponsel mereka.

“Apa pengaruhnya, coba?” Tanya Julia.

“Pengaruhlah, biarkan hape kita jatuh cinta,” Johan mengedipkan mata. Maurice dan Julia memanyunkan bibir.

“Yang hapenya pertama kali bunyi, boleh pegang hape, mainan, bales chat, semuanya pokoknya. Deal?” Tanya Maurice, mengacungkan jari kelingkingnya.

“Deal,” Julia dan Johan menempelkan kelingkingnya pada kelingngking Maurice, tanda setuju.
Tiga es doger yang dipesan sudah siap saji di depan mereka. Seperti biasa, karena Johan yang paling cerewet, dialah yang memimpin doa.

“Ya Tuhan, berkahi es doger ini, lancarkan kuliah kita, dan sadarkan Haris yang sok kegantengan, dan buatlah aku jadi lebih tampan daripada dia, agar Julia terpesona. Aamiin, berdoa selesai,” Mereka tertawa bersama, Julia dan Maurice menampar pundak Johan.

Beberapa menit mereka menikmati es doger. Ponsel Julia berdering. Julia melihat nama Haris di layar ponselnya. Dia membiarkan dering terus berbunyi. Membuat Maurice dan Johan saling menatap.

“Angkat tuh,” Kata Johan, menikmati es doger yang ada di mulutnya.

“Males ah, udah biar aja.”

Setelah tiga kali ponsel Julia berdering. Ponsel Maurice yang berada di tengah—diantara ponsel Julia dan Johan ikut berdering. Maurice langsung mengeceknya. Satu pesan via Whatsapp dari Haris.

“Nih, Haris nanyain kamu,” Maurice melihatkan ponselnya pada Julia.

Julia lagi sama kamu nggak?... Jawab apa nih Jo?” Tanya Julia.

“Enggak, lagi mesra-mesraan sama Johan… Gitu” Kata Johan dengan es doger yang masih tersisa di mulutnya

“Oke,”  Beberapa detik Julia mengetik pesan, lalu memberikan ponsel kepada Maurice.

“Gila ah, cari mati kalian berdua,” Maurice menanggapi.

“Kalo aku mah, selama bareng Julia, oke-oke aja,” Johan mengedipkan mata ke arah Julia—Julia balas tertawa.

“Nih, Haris bales, mau kesini. Dia tahu kalo kita di sini,” Maurice menunjukkan ponselnya pada Julia.

“Bagus dong, bakal ada pe—rang!!” Johan mengangkat alis—Julia menatapnya.

Limabelas menit sejak mereka duduk. Honda Jazz silver milik Haris pelan-pelan berhenti di depan lapak es doger Mak Jul. Johan yang duduk di depan Maurice dan Julia melihat kaca pintu kemudi dibuka. Maurice dan Julia menoleh, Haris yang memakai kaca mata hitam tersenyum, di ikuti Gladys Sania Maharatni yang menyapa.

“Julia,” Haris melepas kacamata hitamnya, menatap Julia, “Kita Putus,” pelan kalimat itu keluar dari bibir Haris—Haris menarik kasar kalung yang ada di lehernya, lalu melemparkannya ke arah Julia. Menutup kaca mobil setelah Gladys mencium pipi Haris.

“Woo, kampret!!” Johan bangkit dan berteriak. Lalu mengambil kalung yang dilemparkan Haris. “JH?” Tanya Johan pada Julia yang menundukkan kepala. Maurice mencoba menenangkannya dengan mengelus halus punggung Julia.

“Julia—Haris,” Jawab Maurice.

“Johan Homo,” celetuk Johan, membuat Julia tertawa dan menatap Johan lalu memukul pertunya.

“Duduk, Jo,” Julia menarik kursi merah yang ada di sampingnya.

“Are you okay?” Tanya Maurice.

“Fine,” Senyum Julia, mengangkat Bahu.

“Bisa gitu ya, tuh laki kampret,” Johan ngupil.

“Johan!! Upilmu itu loh—nggilani,” Kata Maurice.

“Mau? Nih, nih…” Johan mengarahkan kelingkingnya ke Maurice. Julia tertawa, mencubit tangan Johan, membuatnya kesakitan dan mengelus tangannya cepat.

“Move on, Jul,” Maurice menatap Julia.

“Move on? Ngapain? Move on tuh nggak ada, itu kalimat yang diciptain sama orang-orang yang nggak bisa ngelupain mantannya. Makanya selalu bilang udah move on, biar dikira udah lupa, udah ikhlas, padahal… Boro-boro ikhlas, membuka diri buat orang lain aja susah. Itu kan bukti kalo dia belum bisa lupa apalagi Ikhlas,” Kata Johan sambil menghabiskan sisa es dogernya.

“Terus istilah yang tepat apa?” Tanya Maurice.

“Lanjutkan!!” Jawab Johan.

“Yeee… Kaya kampanye aja,” Maurice tertawa melihat Julia merebut es doger Johan.

“Berpindah—Berangkat dari masa lalu kita, mencari masa depan,” Julia menambahi.

“Nah, bener tuh. Tapi jangan sampe masa depanmu dipengaruhi sama masa lalumu,” Johan merebut es dogernya dari Julia.

“Yaelah, kaya ngerti aja kamu, Jo,” Ledek Maurice.

“Nih dengerin. Orang yang udah nikah dan punya anak aja bisa selingkuh. Apalagi yang baru pacaran. Jadi nggak ada gunannya-kan status kalo gitu, nggak penting!” Kata Johan menatap Maurice dan Julia.

“Terus apa dong yang penting?” Tanya Maurice, menyenggol pundak Julia. Tersenyum dan mengangkat alis berbarengan.

“Yang penting sekarang, kita habisin es doger ini, terus pergi. Nonton kek, ngopi pake sianida atau apalah gitu,” Johan menenggak habis es dogernya.

“Wooo!!” Julia dan Maurice menampar pundak Johan, membuatnya tersedak.








Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Saturday, March 26, 2016

THE AFTERNOON COFFEE


Sudah seminggu lamanya televisi terus menyiarkan kasus yang menggemparkan masyarakat. Kematian seorang wanita muda bernama Rina, setelah meminum secangkir kopi di salah satu gerai kopi terkenal di Jakarta. Polisi terus mendalami kasus, bekerjasama dengan polisi Australia untuk ikut menyelidiki. Dari rekaman CCTV polisi belum bisa menyimpulkan pelaku dibalik kasus ini.

Tiga orang yang berada dekat dengan korban saat kejadian, telah dimintai keterangannya. Tiga orang tersebut masih berstatus menjadi saksi. Seorang diantaranya adalah kekasih Rina bernama Panji, yang dalam kesaksiannya mengatakan bahwa dia menjemput Rina di rumahnya. Panji adalah seorang mahasiswa semester lima  jurusan kedokteran.

Kedua wanita yang juga berada satu meja dengan Panji adalah Siska dan Fina. Siska sama dengan Rina mahasiswi semester lima jurusan ilmu kimia, sedangkan Fina adalah bartender di gerai kopi tempat Rina meregang nyawa. Fina adalah kakak kelas Rina di SMA. Fina baru satu bulan bekerja di gerai kopi itu, setelah menyelesaikan sekolah barista di Singapura.

------

Sabtu siang, pukul dua. Rina menerima kabar bahwa Fina bekerja di gerai kopi yang biasa di datangi Rina dan teman-temannya. Rina menghubungi Fina untuk bisa bertemu di tempat Fina bekerja, Fina mengiyakan ajakan Rina dengan sedikit terpaksa. Fina adalah salah satu orang yang membenci Rina saat di SMA, Rina yang menjadi ratu di SMA, membuat aura kebintangan Fina tertutup dengan kecantikan Rina yang menarik perhatian banyak pria. Fina masih mengingat bahwa Rina-lah penyebab kandasnya hubungan antara Fina dan Rio, kekasih masa SMAnya. Dan hingga kini, Fina belum bisa melupakan Rio yang telah menjadi kekasihnya selama hampir tiga tahun. Seminggu setelah putus, Fina mendengar kabar yang tidak mengenakkan, bahwa Rio dan Rina berpacaran. Sebulan kemudian tawa Fina kembali, setelah mendengar Rio dan Rina putus hubungan.

Sabtu siang, pukul dua. Rina menelpon Siska, mengajaknya bertemu Fina sambil ngopi. Siska adalah sahabat baiknya di kampus, mahasiswi yang digilai banyak mahasiswa di kampusnya. Siska menyimpan rasa cinta pada Panji, kekasih Rina. Baginya Rina adalah wanita paling beruntung, karena bisa bersanding manis dengan pria paling tampan di kampus. Siska mengiyakan ajakan Rina dengan girang, karena seingat Siska sudah lebih dari sebulan dia tidak ngopi bareng Rina. Siska masih belum memilikki kekasih sejak dia mengetahui sahabatnya sendiri mendapatkan pria incarannya sejak semester pertama.

Sabtu siang, pukul dua. Siska mengirim pesan untuk Panji. Sudah tiga hari Rina dan Panji tidak dalam keadaan yang harmonis. Siska yakin bahwa Rina tidak mengajak Panji. Rina-pun tidak tahu bahwa sudah tiga hari juga, Siska dan Panji tampak mesra, melalui percakapannya di whatsapp. Siska dan Panji tampak seperti sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta. Panji membalas pesan Siska dengan sangat menggoda, menawarkan untuk menjemput, tapi Siska menolak. Siska tidak ingin Rina curiga dengannya. Akhirnya, Siska menyuruh Panji untuk menjemput Rina sebelum menjemputnya.

------

Dengan mercedez hitamnya, Panji keluar dari basement apartemennya, menuju rumah Rina untuk mejemput. Panji baru memberitahu Rina di setengah perjalanan menuju rumah Rina, setengah kesal Rina mengiyakan ajakan Panji untuk menunggunya sepuluh menit lagi. Di dalam mobil, Panji asik menerima telpon dari Siska, bercanda dengan menggodanya penuh nafsu dan hasrat membabi buta. Siska menerimanya sebagai ajakan serius, untuk bercinta di apartemen Panji nanti malam. Panji tersenyum puas, memberi kecupan, lalu menutup telponya ketika balkon lantai dua rumah Rina sudah terlihat dari mulut gang.

Klakson mobil Panji sudah berbunyi tiga kali setelah Rina keluar dan menutup pagar rumahnya. Setelah duduk di samping Panji, Rina menyuruh Panji untuk menjemput Siska. Panji tersenyum, dia tidak perlu mencari alasan untuk menjemput Siska. Rumah Siska tidak terlalu jauh dari rumah Rina, hanya butuh sepuluh menit untuk sampai. Di dalam mobil Panji sengaja tidak membuka obrolan, Rina juga malas mengajak Panji ngobrol. Sebenarnya Rina telah mengetahui bahwa Panji—kekasihnya, selingkuh dengan sahabatnya sendiri—Siska. Rina ingin melihat gerak-gerik Panji dan Siska ketika ada dirinya.

Setelah menjemput Siska, Rina semakin yakin bahwa ada sesuatu diantara Panji dan Siska. Cara Panji mengajak ngobrol Siska dan cara Panji melirik Siska lewat cermin di atas kepalanya. Rina mencoba bersikap normal dan menahan tanya yang ingin dia lontarkan. Jarak dari rumah Siska dengan gerai kopi lumayan jauh, memakan waktu setengah jam. Selama itu juga kesunyian mengendap di dalam mercedez hitam milik Panji.

------

Mercedez hitam milik Panji, sampai di pusat perbelanjaan terkemuka di Jakarta, tempat gerai kopi yang dimaksud. Ketiganya turun bersamaan, Panji mencari petugas Valet Parking, Rina dan Siska meninggalkan Panji, memilih untuk langsung menuju gerai kopi. Setelah urusan Panji dan petugas Valet Parking selesai, Panji buru-buru mengejar Rina dan Siska, merangkul tengkuk Rina dan Siska. Rina langsung melepas rangkulan Panji, diikuti Siska yang awalnya tersenyum menatap Panji dan memegang jari-jarinya. Gerai kopi terlihat dari kejauhan, Rina mempercepat langkahnya diikuti Panji yang buru-buru mencium pipi kiri Siska—menggodanya. Siska ikut mempercepat langkahnya, menutup mulutnya—menahan tawa.

“Hai Rina,” sambut Fina, melambaikan tangan.

“Fina!! long time no see,” balas Rina, memeluk Fina.

“Rina!! Kangen aku sama kamu… Loh, ada Siska juga?” Fina menatap Siska, sahabat satu kelas masa SMAnya.

“Eh, Fina? Sekarang kerja disini?” Tanya Siska, memeluk sahabat masa SMAnya, terlihat seperti dua orang yang suda sangat lama tidak bertemu.

“Baru sebulan kok,” Senyum Fina.

“Kamu kok nggak kasih tahu aku kalau mau ketemu Fina,” Tanya Siska pada Rina.

“Surprise!!” Jawab Rina girang.

“Eh iya, ini… Kenalin pacar ak… Pacarnya Rina!” Kata Siska, tersenyum pahit.

“Panji,” Ucap Panji, menyalami Fina.

“Fina,” Kata Fina, membalas salam Panji.

Dalam sekejap pertemuan yang sedikit membuat canggung itu selesai dengan Siska yang menawarkan tempat duduk di sudut gerai Kopi. Awalnya Rina menolak untuk duduk di sudut gerai kopi. Tapi, Siska dan Panji memaksanya. Rina terpaksa mengiyakan. Gerai kopi tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pasang kekasih dan orang-orang yang sedang meeting bersama klien.

Sabtu sore, pukul tiga. Siska menghampiri Fina yang sedang meracik kopi, meninggalkan Rina dan Panji. Seperti dua orang yang baru bertemu sejak lama. Siska dan Fina justru seperti dua orang yang sering bertemu setiap hari. Fina sedikit bercerita tentang sekolahnya di Singapura, Siska menceritakan soal Rina yang lagi-lagi menang dari dirinya. Fina tersenyum sinis, mengatakan bahwa Rina memang bukan sahabat yang baik dan pantas mati. Siska terkekeh, mengiyakan ucapan Fina.

Dua cangkir capucino yang dipesan Panji dan Rina, selesai diracik Fina. Siska tersenyum menatap Fina, Siska meminta Fina untuk bisa menghantarkannya pada Panji dan Rina yang sedari dulu masih saling diam, tidak membuka pembicaraan. Siska selesai menaruh dua cangkir kopi, menaruh kopi Panji sebelum kopi Rina. Mengedipkan mata ke arah Panji, lalu kembali menuju Fina yang sedang membersihkan cangkir kopi. Siska mengacungkan ibu jarinya pada Fina, Fina membalasnya dengan menempelkan ujung ibu jari dan ujung jari telunjuknya.

Beberapa detik setelahnya, Panji beranjak dari kursinya, menuju bar—tempat Siska dan Fina bercakap-cakap.

“Aku kan nggak pesan Capucino,” Kata Panji, menyerahkan secangkir capucino pada Siska.

“Oh… sorry, sayang. Aku lupa… Kamu sama kaya aku kan?” Tanya Siska, mengambil capucino dari tangan Panji.

“Caramel Machiato,” Bisik Panji, dekat telinga Siska.

Fina tersenyum bergairah melihat pemandangan di depannya. Siska melihat Rina yang tersenyum pahit melihat Panji dan Siska dari tempatnya duduk, lalu melihat Rina merogoh tasnya. Beberapa menit Rina duduk sendiri, Panji, Fina dan Siska seru mengobrol di meja bar. Persis di depan Fina yang masih meracik Caramel Machiato untuk Panji dan Siska.

Dua cangkir Caramel Machiato sudah selesai diracik Fina, Panji dan Siska mengucapkan terimakasih lalu meninggalkan Fina, menuju Rina yang memegang cangkir, lalu meminum capucinonya di setengah perjalanan Panji dan Siska menuju sudut gerai kopi. Fina menyusul Panji dan Siska.

Beberapa langkah sebelum Panji dan Siska sampai ditempat Rina duduk. Cangkir Rina lepas dari tangannya, jatuh menghantam lantai lalu pecah, seketika Panji berlari menuju Rina yang kejang di tempatnya duduk. Siska dan Fina menyusul, buru-buru mempercepat langkahnya, setelah melihat mulut Rina yang mengeluarkan busa.

“Telpon ambulans!!” Teriak Panji.

------

Dua hari setelah kejadian di gerai kopi, jenazah Rina dimakamkan. Sebelum dimakamkan, penyidik melakukan autopsi terhadap jenazah Rina. Penyidik menemukan zat korosif di lambung Rina. Sehari setelah pemakaman, penyidik melakukan prarekontruksi, dengan membawa serta Panji, Siska dan Fina. Dari rekaman CCTV penyidik menemukan kejanggalan dari diri Siska yang menemui Fina saat sedang meracik kopi, dari rekaman CCTV yang ada Siska dan Fina nampak akrab. Prarekontruksi yang dilakukan Siska dan Fina sedikit berbeda dengan fakta CCTV yang ada. Dua hari setelah prarekontruksi, rumah Siksa dan Fina digeledah oleh pihak penyidik. Tidak ditemukan barang-barang mencurigakan dari kedua rumah.

Penyidik mengaku memilikki cukup bukti untuk menahan Siska dan Fina. Gelar perkara di kejaksaan dilakukan sepuluh hari setelah kejadian yang membunuh Rina sore itu. Kuasa Hukum Siska dan Fina meminta penyidik melakukan autopsi ulang terhadap jasad Rina. Tapi jaksa, menolak permintaan Siska dan Fina.

Siska dan Fina dijerat dengan pasal 340 KUHP atau pembunuhan berencana dengan ganjaran Hukuman mati. Muncul kegaduhan di televisi, banyak media yang memanggil narasumber ahli untuk mengadakan diskusi tentang kasus ini. Pro-kontra menyelimuti kasus, mulai dari pihak kepolisian yang tidak terbuka dengan alat bukti yang ada hingga keganjalan dari dugaan fakta-fakta yang dipaparkan pihak penyidik. Berita acara penahanan Siska dan Fina sudah dilakukan, untuk sementara Siska dan Fina ditahan sampai penyelidikan selesai dilakukan.

Dua minggu setelah pemakaman Rina, Panji didatangkan untuk menjadi saksi. Pihak kepolisian mengatakan bahwa Panji adalah saksi kunci dari kasus yang membunuh Rina. Hubungan terlarang Panji dan Siska menjadi patokan kepolisian untuk membuka titik terang kasus ini. Kesaksian Panji menjadi viral di sosial media, banyak yang berkomentar bahwa pembunuhan berencana juga dilakukan oleh Panji.

Sebulan setelah kasus Rina mencuat, polisi Australia mengundurkan diri dari penyidikan. Belum diketahui jelas penyebab mundurnya. Media massa berspekulasi atas berita ini, banyak media yang memberitakan adanya perbedaan hasil penyelidikan antara penyidik dan polisi Australia. Adanya keanehan yang ditutupi dari kasus ini.

Panji masih berstatus menjadi Saksi kunci kasus ini. Spekulasi tercipta, polisi mengatakan bahwa kecemburuan Siska terhadap Rina membuatnya berencana membunuh Rina dengan Zat Sianida yang bisa didapatnya di Lab Kimia, di kampusnya. Ditambah lagi dengan cerita masa SMA Fina. Saat kesaksian berlangsung di kepolisian, ada kesamaan nasib yang dialami Siska dan Fina, bahwa mereka berdua diam-diam membenci Rina.

Empatpuluh hari setelah kasus Rina, polisi baru membuka bukti baru, kesaksian baru dari Ayah Rina yang baru saja bercerai dengan Istrinya, seminggu sebelum Rina meregang nyawa. Ibu Rina jatuh miskin setelah perceraian, Rina terpaksa hidup dengan ayahnya. Ayah Rina jarang berada dirumah. Polisi baru memeriksa Ayah Rina sehari setelah pulang dari London untuk urusan pekerjaan.

Menurut pakar psikologi yang didatangkan oleh salah satu stasiun televisi, Jiwa Rina terguncang karena perceraian kedua orangtuanya, ditambah lagi perceraian itu terjadi hanya karena Ibu Rina sakit-sakitan. Ayah Rina tutup mulut ketika wartawan menanyai kelanjutan kasusnya.

Dua bulan kasus Rina ramai dibicarakan, polisi menutup kasus Rina, dengan menjatuhi hukuman seumur hidup kepada Siska dan Fina. 

------

Seminggu setelah kasus Rina ditutup, salah satu stasiun televisi mendapatkan rekaman CCTV pusat perbelanjaan, rekaman CCTV yang berbeda—tidak dimilikki oleh penyidik kepolisian. Rekaman ini ramai diperbincangkan, karena diduga Rina bunuh diri dengan meracuni kopinya sendiri. Mahasisiwi semester lima Ilmu Kimia ini, merogoh tasnya, mengambil cairan yang diduga Zat Sianida dalam tabung kecil saat duduk sendiri, lalu menuangkannya pada kopinya.
Spekulasi-pun mencuat. Rina bunuh diri karena sedih melihat ibunya jatuh miskin, menjadi gila karena hubungannya dengan Panji yang meregang, dan mengetahui bahwa Panji menjalin hubungan terlarang dengan Siska. Ditambah kenyataan bahwa Ayah Rina menceraikan ibunya dan menikah lagi dengan wanita berkebangsaan Inggris. Spekulasi itu menjadi kuat karena asuransi kematian Mirna sejumlah satu tirliyun rupiah telah diterima oleh Ibu Rina dua minggu setelah kasusnya ditutup.

------

Mengetahui kabar tersebut, seminggu kemudian kepolisan kembali membuka kasus Rina, membebaskan Siska dan Fina seminggu setelah kasus dibuka kembali. Menyatakan bahwa kasus Rina adalah kasus murni bunuh diri. Setelah itu, kasus benar-benar ditutup.

------

Sabtu malam, pukul tujuh. Tiga bulan sejak kematian Rina. Mercedez hitam milik Panji meluncur dari rumah Siska, menuju apartemen Panji di Jakarta Pusat. Ada janji yang belum ditepati Siska, bercinta dengan Panji. Di dalam mobil Senyum mereka merekah, saling tatap penuh nafsu, saling menggoda. Sampai basement apartemen, Panji dan Siska buru-buru menuju lift, masuk, menekan tombol 14—lantai empat belas. Siska menyambar bibir Panji—Panji membalasnya dengan ganas.

Bunyi lift menghentikan ciuman mereka, Panji dan Siska merapikan baju lalu keluar dengan santai, Panji menggandeng Siska menuju apartemennya. Membuka pintu dengan kunci khusus apartemen, kartu bertuliskan nomor kamar. Buru-buru Panji menutup pintu, melumat bibir Siska. Siska meloncat merangkulkan kakinya pada pinggang Panji. Panji membawa Siska ke kamarnya, lalu merebahkannya di kasur ber-sprai putih. Panji menciumi leher Siska, bersamaan dengan itu, Siska mulai melepas kacamata dan membuka kancing blus putihnya. Ciuman Panji menjalar sampai dada Siska, menggigit puting Siska setelah melepas Branya dengan gigi. Ciuman Panji semakin ganas, melewati dada Siska hingga pusar. Siska menahan Panji ketika Panji hendak membuka rok hitamnya.

“Kenapa?” Tanya Panji.

“Makasii,” Jawab Siska

“Untuk?” Kata Panji, membelai rambut Siska

“Rekaman yang bebasin aku sama Fina.”

“Oh itu… Kamu yang pinter, masukin cairan itu, ke cangkir Rina tanpa Fina tahu,” Panji tersenyum menatap Siska.

“Ya paling enggak, kebiasaan Rina bawa gula cair, bisa bikin orang-orang mikir, kalau dia bunuh diri,” Kata Panji mengecup bibir Siska.

“I Love You, Beib,” Kata Siska menggoda.
---



Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, March 18, 2016

THE PRESIDENT




"Berhentilah menatap jendela, Elina. Hujan telah lama reda. Apalagi yang sedang kau pandang," Ucap Pak Presiden. Pagi ini Presiden Irak akan datang untuk menandatangani kerjasama bilateral. Hujan yang tadi datang menyita pandangan Elina. Ini memang pekerjaan Elina, menatap hujan selain menjaga dan mengawal RI 1. "Saya sedang menatap sisa-sisa hujan, pak. Aroma tanah yang tercium meredakan rasa lelah yang datang," Jawab Elina.

Pak Presiden selalu bersikap santai pada pengawal-pengawalnya, meski para pengawal selalu bersikap kaku ketika Pak Presiden bersikap santai. Presiden yang dicintai rakyatnya dengan bukti 80% perolehan suara pada pilpres tahun lalu yang membuatnya menjadi presiden untuk periode kedua masa kepemimpinanya. Kemiskinan turun drastis menjadi 4,5%. Rekor untuk sebuah negara yang masih berkembang. Elina selalu menjadi pilihan Pak Presiden dalam mengawalnya. Pak Presiden menyebut Elina pengawal pribadinya, meskipun Elina ogah disebut seperti itu.

Elina perempuan yang jago karate, juara karate dalam Olimpiade Beijing tahun 2008. Alasan kenapa Pak Presiden memilih Elina untuk menjadi pengawal pribadinya. Mungkin karena Presiden merasa dirinya lemah, sehingga dia mencari pengawal pribadi yang mampu membuat dirinya merasa aman. Presiden lemah tapi punya kecerdasan yang luar biasa. IQnya 160, setara dengan Einsten. Dua kali pindah Sekolah Menengah Atas karena menentang kepala sekolah yang dinilainya korup dan tak becus dalam memimpin. Hampir setiap bulan selalu masuk Kantor BK karena celotehannya yang dia tulis di dinding-dinding sekolah. Siswa yang punya pengaruh besar terhadap teman-temannya. Dianggap nakal oleh kepala sekolah tapi dianggap hebat oleh teman-temannya.

Elina lulusan terbaik Harvard University, visi yang idealis membuat presiden jatuh hati dengan kecerdasan dan bakatnya. Elina juga sering membantu Presiden dalam memutuskan segala hal yang dirasa Presiden susah untuk di putuskan. Elina selalu mempunyai pandangan perspektif yang tidak dilihat orang. Melihat segala sesuatu dari sisi yang tidak dilihat orang lain. Pengawal sekaligus teman mengobrol RI 1. Salah satu program kerja Presiden untuk mereformasi pejabat negara adalah ide dari Elina. Di periode ke dua kepemimpinan Presiden semua pejabat diganti oleh para ahli dibidangnya bukan dari partai politik. Gebrakan yang langsung membuah IHSG menguat.

Pasukan khusus Presiden sedang mengawal kedatangan Presiden Irak. Kali ini berbeda. Ini tamu khusus Pak Presiden. Presiden Irak datang dari jalur laut untuk menghindari kejaran media. Elina belum mengetahui perjanjian apa yang akan dibahas dalam pertemuan kali ini. Pak Presiden belum memberitahu Elina. Sebelum Presiden Irak, juga sudah datang perwakilan dari Mesir dan Libya yang juga belum diketahui Elina apa maksud tujuan mereka menemui Pak Presiden. Mereka membawa sebuah alat dalam koper berwarna perak. Isinya bukan uang karena tidak mungkin seorang yang diutus kepala negara membawa uang dalam koper untuk seorang Presiden. Apalagi RI 1 menyatakan dirinya anti korupsi.

"Negara ini hebat, Elina. Saking hebatnya banyak orang yang berebut untuk bisa menguasai negara ini. Stabilitas politik sengaja di goncang. Cara mereka untuk membuat negara ini terus begini" ucap Presdien yang duduk di depan Elina. Presiden menyangkan dengan banyaknya kepentingan yang tidak memprioritaskan rakyat diatas kepentingan segalanya. 

"Sebenarnya hal yang paling susah dalam hidup bernegara itu bukan menciptakan sistem. Tapi, menciptakan sumber daya manusia yang hebat dan idealis, bukan sekedar hidup tapi tak tahu terimakasih dengan negaranya," Jawab Elina. 

"Benar, Elina. Sangat susah menciptakan itu semua. Sumber daya alam kita melimpah. Namun sumber daya manusia yang ada belum bisa menyeimbangakan itu semua." Percakapan Elina dan Presiden tersambung hingga percakapan pribadi. Waktu yang pas sembari menunggu tamu kenegaraan dari Irak. Pak Presiden sering menggunakan waktu luang untuk berbincang dengan Elina sekaligus mencuri ide brilian dari Elina.

Pernahkah kau berpikir bahwa nasibmu tak sebaik nasib orang lain? Elina merasakannya. Untuk melindungi seorang Presiden adalah pekerjaan yang tak mudah, dibutuhkan segala bentuk emosi yang bisa dikendalikan secara baik. Nyawa RI 1 mungkin sedang Elina genggam. Elina hampir ingin bunuh diri karena pekerjaannya yang penuh resiko diawal masa kerjanya sebagai pengawal Presiden. Nyawanya dan seluruh keluarganya bisa saja juga ikut terancam. Setelah hampir lima tahun dia bekerja disamping Presiden, Elina sudah merasa menjadi orang yang paling beruntung diantara orang di dunia. Bisa ikut memberikan pemikirannya untuk kemajuan negara. Hal yang Elina cita-citakan sejak dia kecil.

Secara job sheet Elina bekerja sebagai salah satu pengawal Presiden. Tapi, Pak Presiden menganggap Elina lebih dari seorang pengawal ataupun atlet karate hebat. Pernah pada satu kesempatan ketika Presiden blusukan ke wilayah timur negara, Pak Presiden hanya ingin dikawal oleh Elina. Tahun ini adalah tahun dimana Presiden ingin membangun wilayah timur dengan membawa Elina agar Elina bisa memberikan ide dalam perencanaan pembangunan wilayah timur. Bisa dibilang Elina dan Pak Presiden adalah partner kerja yang ideal. Sangat ideal.

Seorang pengawal yang lain datang memberitahu Pak Presiden bahwa dalam 15 menit Presiden Irak akan sampai ke Istana Negara. Pak Presiden nampak santai, belum mau bersiap-siap menyambut kedatangan Presiden Irak. "Enggak siap-siap, pak?" Ucap Elina. "Ah, santai saja, Elina. Presiden Irak ini orang yang santai, tidak perlu hal yang formalitas, lagian kedatangannya tidak akan diliput oleh media". Elina hanya menjawab dengan senyuman dan anggukan. Hal yang biasa ketika Elina menghadapi sifat santai Pak Presiden.

“Sepuluh menit lagi, Presiden Irak akan sampai pak. Mohon Pak Presiden bisa mempersiapkan diri untuk kedatangannya” Ucap Elina. Kedatangan Presiden Irak tidak dikawal oleh tim pengawal Presiden seperti kebanyakan tamu kenegaraan yang lain. Persetujuan antara Pak Presiden dan Presiden Irak untuk tidak dikawal, untuk menghindari pemberitaan dari media. Belum diketahui jelas apa maksud kedatangan Presiden Irak. Mungkin hanya untuk bersilaturahim.

Kurang dari lima menit Pak Presiden sudah berganti setelan jas hitam dengan dasi merah gelap. Memang tidak butuh waktu lama untuk Presiden berganti pakaian. Tim wadrobe kepresidenan sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari. Peci hitam dengan lambang negara di sisi kanannya melengkapi setelan jas yang nampak sedikit kebesaran di tubuh Pak Presiden. Mungkin karena Pak Presiden kurus. Sepatu hitam kempling, hampir bisa digunakan untuk berkaca. Lencana Presiden di telinga Jas dan sapu tangan yang berbentuk segitiga menghiasi kantung jas Presiden. “Lima Menit lagi untuk kedatangan Presiden Irak” Ucap Elina.

“Semua bersiap, Presiden Irak memasuki gerbang Istana. Standby” Seru Elina kepada pengawal lain melalui handie talkie. “Mari Pak Presiden” Ucap, Elina dengan tangan yang mempersilahkan Pak Presiden. Standard protokoler. Membawa Presiden menuju pintu utama untuk menyambut tamu kenegaraan. Elina berdiri di belakang Presiden dan Istri, juga menteri dalam negeri. Mobil yang menjemput Presiden Irak memasuki halaman lobby istana, hingga benar-benar berhenti, salah satu pengawal membukakan pintu. Pak Presiden menyambutnya dengan cipika-cipiki, formalitas yang sebenarnya tak perlu dilakukan oleh Presiden, terlebih Presiden berjenis kelamin laki-laki. Elina melihatnya risih.

“Selamat malam, Pak Presiden tampak cerah sekali,” Presiden Irak menyalami pak Presiden. Lumaya lama Pak Presiden bercakap-cakap dalam posisi saling bersalaman. Lalu menyalami Ibu Negara yang berada persis di samping Pak Presiden. “Gimana sehat, bu? Belum bosan menemani presiden?” tawa kecil keluar dari bibir ibu negara dan pak presiden. “Ah tidak, saya selalu setia mengarahkan bapak agar tidak terjerumus,” ujar ibu negara. Setelah menyalami Pak Presiden dan Ibu Negara. Presiden Irak menyalami Elina yang berada di belakang Ibu Negara. “Ah, Elina. Wakil Presiden baru. Orang paling beruntung. Hanya kamu Wakil Presiden yang dulunya adalah pengawal presiden, Hebat Elina” Presiden Irak memegang pundak Elina. “Terimakasih, Pak. Saya merasa terhormat menjadi Wakil Presiden baru,” Elina dengan kaku menjawab.

Jiwa Elina masih seperti seorang pengawal presiden. Sekalipun dia adalah Wakil Presiden di periode kedua masa kepemimpinan Pak Presiden. Tapi, terkadang Elina juga risih ketika Presiden masih memperlakukan dirinya seperti pengawal presiden. Rasanya Elina ingin menegur. Tapi, keinginannya menegur selalu saja kandas. Elina lebih ingin menjaga kondisi baik dengan Pak Presiden. Baginya stabilitas politik adalah salah satu hal yang bisa membuat suatu negara menjadi negara yang diinginkan banyak penduduknya. Ekonomi, pendidikan dan harga-harga yang murah adalah keputusan politik. Jika stabilitas politik baik semuanya akan terpenuhi sesuai keinginan. Sebaliknya, jika politik tidak stabil akan banyak tawar-menawar di elit politik negeri ini. Lalu terjadilah suap-menyuap dan korupsi.

“Mari kita ke ruang tengah” Ajak Pak Presiden. Ruang tengah adalah ruang yang biasanya dipakai untuk open house. Masyarakat bisa bertemu presiden setiap malam Jumat, menyampaikan aspirasinya atau sekedar foto bersama Pak Presiden. Ruangan dengan foto mantan presiden di dinding-dinding penyangga. “Elina, tolong panggilkan Pak Budi,” Suruh pak presiden, tanpa melihat bahwa Elina adalah Wakilnya. Pak Budi adalah kepala dapur Istana Negara. Juru masak yang selalu menyediakan makanan bagi para penghuni Istana dan tamu-tamu kenegaraan. Juru masak yang terkenal pintar memasak masakan khas daerah. “Siap, Pak Presiden” Jawab Elina dengan menundukkan kepala.

“Jadi bagaimana dengan proyek kita, pak?” Pak Presiden, mempersilahkan presiden Irak menikmati suguhan dari Pak Budi. “Semuanya lancar, kita tinggal menunggu negara-negara Arab menandatangani nota kesepahaman” Presiden Irak, meminum teh rempah yang biasa disediakan Pak Budi untuk tamu kenegaraan. Elina berada diantara mereka berdua. Tapi, sampai setengah jam pembicaraan berlalu tidak ada satupun diantara mereka berdua yang mengajak Elina berbicara ataupun sekedar basa-basi yang tidak menarik. 

Elina hanya tersenyum mendengarkan pembicaraan yang terasa masih sangat lama untuk sampai ujung pembicaraan. Sesekali Elina menatap pak presiden sembari tersenyum, hal yang sama dilakukan Elina kepada Presiden Irak. Keadaan yang membuat Elina merasa tidak ada bedanya antara menjadi pengawal Presiden dan Wakil Presiden, diperlakukan Pak Presiden seperti pengawal Presiden, Elina merasa ketidakadilan yang dilakukan Pak Presiden terhadapnya. Tapi, lagi-lagi Elina hanya diam. Menganggap semuanya baik-baik saja. Menjaga hubungan baik adalah hal terpenting bagi Elina.

Satu jam jalannya pembicaraan Elina mulai mengerti apa yang sedang dibicarakan kedua Presiden ini. Ada sesuatu yang terasa aneh ditelinganya. Diambilnya telepon gengam di tas kecilnya, berpura-pura membalas pesan. Elina membuka Sound Recorder memulai merekam semua pembicaraan yang tampak janggal. Kedua Presiden ini membawa nama-nama presiden di daratan Eropa dan Amerika, juga nama-nama negara di semenanjung Arab. Elina melamun, bengong. Sampai semuanya pecah ketika Pak Presiden meminta saran kepada Elina. 

“Bagaimana Elina? Kamu setuju?” Elina sulit menjawab karena memang dia tidak tahu, hal apa yang sedang ditanyakan Pak Presiden. “Maaf, sebenarnya apa yang sedang kita bahas, Pak Presiden?”
 
“Negara-negara Liga Arab ingin mengajak kerjasama negara kita untuk membuat senjata pembunuh massal, Elina,” Pak Presiden mengambil bungkus rokok dari dalam saku jasnya.
“Maksudnya Nuklir, Pak Presiden?”

“Iya,” Kata Pak Presiden, mengambil satu puntung rokok. 

“Maaf, untuk apa kita membuat Nuklir, Pak Presiden?”

“Ya, kamu tahu sendirikan, sudah banyak negara yang mempersenjatai dirinya dengan alat pembunuh massal itu,” Pak Presiden menyulut rokok yang terapit di bibirnya.

“Negara ini aman-aman saja, Pak. Tentram, penduduknya hidup dengan tenang dan damai. Jadi kenapa Negara kita harus ikut membuat senjata pembunuh massal itu?” Tanya Elina serius.

“Kamu tidak paham, Elina. Amerika, Russia, China, Korea Utara dan negara-negara lain. Mereka siap menjatuhkan nuklir kapanpun sesuka mereka, dimanapun tempat yang mereka suka,” Asap rokok mulai berhamburan diantara mereka.

“Tapi, dengan alasan apa pak?”

“Memperluas wilayah, kejayaan, harga diri Elina. Jadi kalau kita tidak siap, Negara kita akan hancur seketika tanpa perlawanan,” Pak Presiden mengapit rokok pada sela-sela jarinya.

“Kalau begitu perang dunia ketiga bukan hanya mitos? Akan benar-benar terjadi?” Tanya Elina.

“Begitulah faktanya, Elina.”

“Tidak pak, kali ini saya tidak setuju,” Tegas Elina, menggeleng.

“Elina!! Baru kali ini kamu membelot,” Suara Pak Presiden meninggi.

“Saya jelas tidak sudi menjual negara ini, hanya karena ketakutan Pak Presiden yang tidak terbukti dan tidak jelas,” Tegas Elina.

“Keluar, Elina!! Keluar!!” Bentak Pak Presiden, Muntab.

“Baik, pak. Terimakasih. Saya permisi,” Elina pergi, berlalu meninggalkan Pak Presiden. Presiden Irak tersenyum menatap Elina. Elina mengangguk.

Elina keluar dengan perasaan jengkel, muntab. Wakil Presiden yang tidak dianggap. Sakit hati yang memuncak, Elina pergi meninggalkan Istana. Pulang ke rumahnya yang berjarak dua kilometer dari istana. Elina berkendara sendiri, menolak sopir yang menanyakan ingin pergi kemana. Elina memacu kendaraanya dengan kecepatan yang tidak biasa, jalanan lumayan sepi. Hanya butuh sepuluh menit untuk Elina sampai dirumahnya. Elina tertahan di dalam mobil, ditempelkannya kening pada stir mobil. Elina merasa keputusan Presiden adalah keputusan yang salah, sangat salah. Elina befikir apa yang harus dia lakukan.

Bunyi dering pesan masuk di handphone Elina membuatnya tersentak. Belum membuka pesan, Elina menyadari bahwa rekaman pembicaraan di handphonenya masih berjalan. Hampir tigapuluh menit, Elina menyimpan hasil rekaman itu, lalu memutarnya kembali. Dipercepat—diperlambat , mendengarkan lagi percakapan yang baru saja terjadi di Istana. Elina turun dari mobil masuk rumahnya dengan tergesa-gesa, menuju meja kerjanya, menyalakan laptop lalu mencari daftar Email media massa. Koran, majalah, media online, radio, televisi. Elina membuka akun Emailnya, berniat untuk mengirim rekaman itu melalui email. Elina menuliskan alamat email itu satu persatu, memindahkan rekaman dari handphone ke laptopnya. Dengan subjek “Percakapan Pak Presiden dan Presiden Irak”.

Belum ada setengah jam, seluruh stasiun TV sudah memberitakan soal rekaman yang dikirimkan Elina, banyak wartawan yang mendatangi Istana untuk mengetahui kepastian berita itu. Pertemuan Pak Presiden dan Presiden Irak masih berlangsung, kegaduhan di luar Istana menghentikan pembiacaraan diantara mereka. Presiden menanyakan kegaduhan yang ada di luar kepada salah satu staff kepresidenan, “Maaf pak, sepertinya pak presiden harus menonton siaran televisi,” jawab salah seorang staff presiden. “Ada apa?” Pak Presiden pamit meninggalkan Presiden Irak untuk melihat siaran televisi.

“Breaking News, sekarang saya sudah berada tepat di depan Istana Presiden untuk mencari kepastian atas berita rekaman pembicaraan antara Presiden dengan Presiden Irak, yang dikirimkan oleh Wakil Presiden. Bisa kita lihat kegaduhan yang ada di depan Istana, sampai berita ini disiarkan belum ada perwakilan dari istana yang menemui para wartawan dan memberi penjelasan” Ucap salah satu wartawan dari TV sembilan. Presiden mendegarkan rekaman yang diputar TV sembilan dengan seksama. Rekaman belum rampung Pak Presiden langsung menelpon Elina dengan perasaan yang kalang-kabut.

Lima panggilan tak terjawab, Elina tertidur di meja kerjanya, handphonenya masih terus berdering. Elina mulai terbangun setelah dering panggilan ke tujuh menyentaknya. Telepon dari Pak Presiden. Elina mendiamkan hingga sepuluh kali panggilan tak terjawab. Elina menyalakan televisi, tersenyum, entah tersenyum puas atau apa. Setelah ini Elina akan dianggap pejabat pro rakyat karena menolak proyek senjata pembunuh massal itu. Agaknya Elina menganggapnya seperti itu. Sekali lagi terdengar panggilan masuk dari pak presiden. Elina menjawab panggilan itu setelah dering ketiga.

“Bagaimana Pak Presiden? Sudah melihat kegaduhan yang terjadi? Semua televisi menyiarkan berita yang sama, prestasi bukan?” Elina terkekeh.

“Elina!! Kamu bukan Wakil Presidenku lagi!! Jengkel Pak Presiden.

“Kebetulan pak saya juga mau mengundurkan diri, cukup adil bukan?” Remeh Elina.

“Elina!! Bodoh!!”

“Oops, ada yang marah besar” Elina tertawa keras. “Tenang saja pak presiden kegaduhan ini tidak akan membuat jabatan anda hilang, siapa yang berani menangkap seorang presiden yang dinilai pro rakyat, presiden yang hanya mencuri ide pembangunan dari orang lain. Butuh waktu lama untuk para dewan memutuskan anda harus turun dari jabatan, Birokrasi yang ribet. Presiden sampah, pencitraan teruusss!!” Pak Presiden muntab, belum sempat dia menjawab, Elina sudah menutup teleponnya.

Perkataan Elina benar, tidak ada yang berwenang menangkap presiden. Masalah ini membuat kegaduhan. Demo besar-besaran terjadi di Ibu Kota, meminta Presiden turun dari jabatannya, ini sudah berlangsung seminggu lamanya setelah rekaman pembicaraan pertamakali disebar. Elina belum resmi mengundurkan diri, Pak Presiden juga belum jadi memecat Elina. Ibu Kota luluh lantak, banyak dari penduduk memilih sejenak keluar dari Ibu Kota. Para Mahasiswa dari seluruh negeri tidak henti-hentinya berorasi siang dan malam, menganggap presiden menjual negara ini kepada negara-negara Arab. 

Pak Presiden berpikir keras untuk mengembalikan keadaan negara menjadi normal lagi. Dua minggu berjalan kegaduhan masih terjadi, Ibu Kota semakin Luluh Lantak. Istri Pak Presiden menyarankan untuk turun jabatan, ketua umum partai dan koalisi partai pengusung presiden juga menyarankan hal yang sama. Presiden semakin bingung, jika dia mengundurkan diri Elina akan menggantikannya. Jika pak presiden memecat Elina sebelum mengundurkan diri, masyarakat akan semakin membenci presiden.

Hari ke enambelas. Pak Presiden memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden, Pukul sepuluh pagi Elina dilantik menjadi Presiden. Tidak ada pembicaraan antara Elina dan Pak Presiden. Pak Presiden yang kini mendapat gelar mantan presiden langsung meninggalkan Istana. Seluruh penjuru kota bergembira kegaduhan berubah menjadi tawa kegembiraan karena perjuangan yang tidak sia-sia untuk menggulingkan presiden yang dulunya dianggap Presiden pro rakyat. Pesta diadakan dimana-mana, kembang api dan suara terompet menghiasi langit ibu kota hingga malam. Enambelas hari yang kelam, perekonomian negara luluh lantak. Mata uang melemah.

Pukul sembilan malam, sebelas jam setelah Elina dilantik menjadi Presiden. Elina meminta staff kepresidenan meninggalkannya sendiri untuk menelpon seseorang.

“Thankyou, brother. Sedikit kacau tapi semuanya berjalan dengan lancar,” Ucap Elina.

“Dengan senang hati, Elina,” Balas Presiden Irak.

......


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.