Ketika hari baru saja mulai, pagi yang
dingin berganti dengan teriknya siang. Prof. Uru dan Arthur masih sibuk
mengobrol di salah satu sudut Boulgetse. Di antara rak buku politik dan sosial
mereka menghabiskan kopi bersama.
“Jadi gimana bisa, di perpustakaan
sebesar ini, dengan koleksi buku yang hampir sejuta, ada peralatan kedokteran,”
Tanya Arthur pada Prof. Uru.
“Perpustakaan ini sudah seperti rumah
kedua bagiku dan ayahmu, Arthur. Dulu selalu ada pengobatan gratis di tempat
ini... Ayahmu yang membuat program itu.”
“Ohyaa?? Unik juga, baru aku dengar
perpustakaan jadi tempat pengobatan gratis.”
“Itu uniknya ayahmu, Arthur. Beliau
bisa melakukan kebaikan di banyak tempat.”
Kopi dalam cangkir itu semakin pekat,
pembicaraan menjerumus kearah kegelapan Kota Nanoi selepas peninggalan Witson.
Beberapa buku telah habis dibaca Arthur, buku-buku tipis dengan halaman yang
tidak sampai menyentuh seratus.
“Dulu, aku tidak terlalu peduli dengan
kehidupan ayah di pemerintahan. Aku sibuk mengejar Ana, bermalas-malasan di
rumah, menjadi komentator, kritik sana-sini. Hidup terlalu nyaman saat itu,
sampai aku lupa aku menikmati kenyamanan orang lain bukan menciptakan
kenyamananku sendiri.”
“Kalau aku boleh bertanya, apa yang
membuatmu tidak peduli, bahkan terhadap Ayahmu sendiri,” Prof. Uru duduk
setelah lama berdiri.
“Politik.”
“Politik?? Kenapa?? Bukannya semasa Ayahmu
memimpin kota ini, politik berjalan dengan baik? Kondusif, semua terkendali
ditangan Witson.”
“Yaahh, well. Bagiku politik itu kotor.
Cuma dengan cara kotor politik bisa berjalan,” Arthur mengembalikan buku yang
telah selesai dibacanya.
“Ditangan Ayahmu, tidak ada politik
kotor, semuanya bisa berjalan dengan baik. Kesejahteraan meningkat pesat.
Kemiskinan turun. Warga Kota merasa bahagia dibawah kepemimpinan Witson.”
“Nah, baru belakangan ini aku jadi
sadar, kebencianku sama yang namanya politik justru nggak baik buat kedepannya.
Semua harga ditentukan sama keputusan politik, harga buah, sayur, daging,
barang-barang yang kita pakai. Semuanya. Cuma banyak orang yang belum sadar,”
Arthur sibuk mencari buku.
“Mereka sibuk cari kesalahan orang.
Sampai lupa memperbaiki kesalahannya sendiri. Politik bukan untuk dijadikan
kambing hitam dari suatu permasalahan. Politik justru diciptakan untuk
memperbaiki, menyelesaikan permasalahan itu sendiri, menjadi jalan keluar.”
Arthur tersenyum, menemukan satu buku
yang menarik perhatiannya. Diambilnya buku itu, dengan sampul yang tidak
menarik. Hanya ada judul pada sampul buku itu. Buku sejarah perjalanan Kota
Nanoi. Buku yang tebalnya membuat Arthur harus membawanya dengan kedua tangan.
“Itu buku, cuma tersisa beberapa copy,
yang entah dibawa siapa. Buku tua, rapuh,” Jelas Prof. Uru.
“Beberapa copy?? Kemana yang lain??”
Tanya Arthur.
“Hilang bersama sejarahnya, buku itu cukup
dicari untuk dibajak, dipalsukan,” Prof. Uru membenarkan letak duduknya.
“Loh, bukannya kalau dibajak dan
dipalsukan justru semakin banyak?”
“Seharusnya gitu, buku itu dibajak dan
dipalsukan bukan untuk dibaca. Tapi digunakkan untuk bahan bakar. Ketika Kota
Nanoi mengalami krisis minyak.”
“Ha?? Kenapa bukan buku yang lain??”
Arthur membuka halaman demi halaman di buku itu.
“Entah, seperti misteri yang belum
terpecahkan.”
Arthur sibuk membaca halaman pertama
buku itu, telunjuknya bergerak mengikuti alur baca. Prof. Uru beranjak dari
kursinya, mengisi ulang cangkir kopinya yang kosong. Menuju mejanya dan
mengambil koran kota yang dibelinya di pasar.
“Coba baca ini,” Prof. Uru melemparkan
koran pada Arthur.
“KOTA INI BUTUH PAHLAWAN,” Arthur
membaca pelan judul yang bercetak tebal di halaman utama koran. Menatap Prof.
Uru yang menatapnya.
“Kamu harus balas dendam atas apa yang
dilakukan padamu, Arthur. Jadilah Pahlawan untuk kota ini, untuk kotamu.”
“Untuk apa?? Kita bisa terus hidup di
sini tanpa dicari. Orang-orang mulai melupakan kita,” Arthur melipat koran.
“Kota ini sekarat Arthur, banyak yang
harus diselamatkan. Kita nggak bisa berdiam diri disaat yang lain butuh
perlindungan,” Tegas Prof. Uru.
“Kalau gitu kenapa bukan Prof. Saja
yang jadi pahlawan buat mereka,” Tegas Arthur.
“Aku sudah terlalu tua untuk itu. Kamu
masih muda Arthur, ini kesempatanmu. Ingat pesan Ayahmu. Kalau kamu mau, aku
punya penawaran. Akan jadi menarik kalau kamu yang melakukan.”
Arthur terdiam. Membuka kembali koran
yang dilipatnya. Membaca judul itu dalam hati. Muncul sosok Witson di
kepalanya. Prof. Uru menunggu—menatap Arthur yang terlihat berpikir keras.
“Jadi??” Tanya Prof. Uru.
“Semenarik apa tawaranmu??”
(BERSAMBUNG)