Sunday, November 20, 2016

Kamu Merusak Malamku


Tiba-tiba mendung datang,
membawa kelam yang begitu pekat,
ke kota yang penuh sekat.

Dia datang dari barat,
menukik jatuh ke pangkuanku,
mengusirmu yang ragu menyatu.

Sebelumnya, aku tidak bisa
mendeskripsikan apa-apa,
sekejap kamu hilang dari pandanganku.

Peranmu benar-benar merusak malamku.
Wanita angkuh yang tetap diam,
disaat aku menunggumu buka suara.

Aku ingin menyentuh kemungkinan.
Meski kamu terus besikap biasa,
seakan tak ada apa-apa.

Aku ingin menghuni inti jantungmu,
merawatnya hingga waktu tak lagi berlalu.

Kamu merusak malamku
berkata; "Tak akan bisa menyatu",
padahal selalu ada aku di matamu.

Lalu, Aku harus apa?? 
Menjadi gila dan dikasihani,
atau mati bunuh diri.

Terakhir.
Aku hanya ingin bilang;
"Kenapa butuh dia kalo aku ada".


Semarang, 20 November 2016

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, November 18, 2016

Terikat Waktu


Manusia memang butuh sentuhan. Tak terkecuali Anggara. Hari itu dalam satu ranjang yang sama, sentuhan dari wanita yang baru dia kenal meruntuhkan segalanya. Wanita yang telah memiliki kekasih justru memilih untuk mengikat waktu bersamanya. Sentuhan yang tak lagi bicara soal hasrat atau nafsu. Sentuhan itu meruntuhkan tembok yang dibangun untuk Amanda. Saat itu pula, Ananta ingin menjadi manusia paling munafik, membohongi temanya sendiri soal satu ranjang bersama, soal perasaan baru yang tumbuh hanya lewat sentuhan.

Jerman benar-benar memanjakan Ananta. Bersama Geraldine, dia masih diatas ranjang hingga malam tiba. Saat dingin mulai menusuk tulang, membuat Geraldine merasa butuh pelukan. Ananta yang juga merasa kedinginan, memilih memberi pelukan sekaligus menghangatkan tubuh sendiri. Menaikan semua ketegangan ditingkat paling atas. Mereka berdua mengangkat selimut, menutup tubuh hingga ke leher. Sungguh ironi, menikmati tubuh kekasih teman sendiri.

“Kita belum berbuat apa-apa,” Kata Ananta menatap langit kamar.

“Memangnya ini apa??” Geraldine menyusuri perut Ananta dengan telunjuknya.

Ananta terdiam.

“Memang, kamu mau apa??” Geraldine menggoda.

“Kita masih malu-malu.”

“Apakah ini malu-malu??” Tangan Geraldine masuk ke dalam celana Ananta.

“Not pretty sure,” Ananta mengerang, menahan kenikmatan.

Geraldine terus mengikat Ananta dalam lingkarannya,  mencium bahu Ananta berulang kali. Di balik selimut, dia melingkarkan tanganya pada perut Ananta. Sesekali menggelitik, membuat Ananta merasa Geli. Ananta terus mencium lembut kepala Geraldine, menabrakkan nafasnya pada ubun-ubun. Hal yang disukai banyak wanita. Geraldine tak banyak bicara, hanya sesekali merintih, merasakan kenikmatan diantara dua kelamin yang saling bersentuhan. Merasakan sentuhan tangan yang mengelus pusat ketegangan. Selama itu pula, Geraldine bisa melupakan Niko, kekasih yang telah lama diikat.

Sebuah dilema, terikat pada satu hal disaat kita ingin yang lain, ingin merasakan hal lain. Ingin mengikat yang lain. Mereka tidak merasa bersalah. Menganggap ini semua adalah nasib baik, kecelakaan yang diinginkan banyak orang. Menjadi makhluk hedonis berarti siap mengorbankan apapun termasuk fisik apalagi Hati. Ananta juga terpaksa untuk menutup mulutnya, tidak banyak bicara, menikmati setiap detik yang dilalui bersama. Menikmati setiap celah inti jantung. Debar jantung yang dirasa cukup untuk mewakili semua yang tercipta di kamar itu, di ranjang dengan sprai putih terang.

“Aku besok pulang.”

“Pulang?? Ke Indo maksudmu??” Tanya Geraldine, melirik Ananta.

Ananta mengangguk.

“Ngapain?? Di sini aja, sama aku.”

“Nggak bisa, Ge... Kalo mau ikut aku aja.”

“Kalo gitu aku juga nggak bisa.”

“Ayolah,” Ananta memohon.

“Jangan memaksa, An,” Geraldine bangkit, duduk menatap Ananta.

Ananta tersenyum. Beberapa detik mereka saling tatap. Hingga Geraldine duduk diatas Ananta. Jari-jarinya menyusuri perut Ananta yang bidang, membuat Ananta merasa geli. Rambut Geraldine yang terurai benar-benar menggoda. Di atas Ananta, Geraldine menari-nari, melepaskan branya, melemparnya ke mata Ananta. Pinggul Ananta masih merasakan goyangan Geraldine. Ananta menyingkirkan bra hitam yang menutup matanya. Kedua tangan Ananta mulai bermain, menyusuri pinggang hingga meremas payudara Geraldine, lembut dan tidak tergesa-gesa. Sampai tangan Geraldine memegang tangan Ananta, memberi arahan untuk meremas lebih keras, lebih liar.

Pagi jatuh di Jerman, kebahagian memang bisa berlalu sangat cepat. Ananta sedang bersiap mengejar penerbangannya kembali ke Jakarta. Seperti seorang anak yang manja, Geraldine terus menggodanya untuk membatalkan penerbangan. Untuk menikmati hari sekali lagi. Wanita memang tampak lucu ketika tidak bisa menutupi dan menahan nafsunya. Ananta hanya tersenyum, memakai setelan jas dan sepatunya. Memasang jam, bercermin—merapikan rambut.

“I’m ready,” Ucap Ananta di depan cermin.

“Kamu serius??” Geraldine memelas.

“Kenapa??” Lembut Ananta menjawab.

“Nggapapa,” Geraldine menunduk pelan.

“Hey, it’s oke,” Ananta mendekat, duduk di ujung ranjang.

“Be careful, An.”

“Pasti,” Ananta mencium kening Geraldine.

“Wait,” Geraldine menahan Ananta bangkit.

“Apalagi??”

“Apa mungkin kita ketemu lagi??”

“Banyak kemungkinan, Ge. Indonesia terbuka untukmu, rumahku terbuka untukmu,” Ananta tersenyum, kembali duduk di ujung ranjang—menatap Geraldine.

“Jerman juga terbuka untukmu, An. Hatiku pun demikian.”

“Aku nggak cukup yakin bakal balik kesini.”

“Kalo gitu, aku juga nggak yakin bakal ke Indo,” Geraldine membalas, kesal.

“Jangan paksain diri, Ge” Ananta terkekeh.

Geraldine menghela napas.

“Oke??” Ucap Ananta.

Geraldine mengangguk.

“Rasain ini di Indo, Ge” Ananta mengecup bibir Geraldine, singkat dan lembut. Geraldine tersenyum, matanya terpaku menatap Ananta hingga sosoknya ditelan pintu Apartemen.

Ananta tidak buru-buru meminta nomor ponsel Geraldine. Dia ingin menciptakan rindu dan menikmatinya. Ananta sengaja ingin membuat Geraldine terus terpikir dan akhirnya menyerah pada rasa egois dalam dirinya. Dan akhirnya, memilih menyusulnya ke Indonesia. Ananta hanya perlu bersabar, sesuatu yang tidak banyak orang bisa menghadapinya.

Perjalanan Ananta terasa begitu berat dan lama, seperti ada yang tertinggal. Bahkan rindu pun tidak bisa dikendalikan. Pikirannya terus terpaut oleh waktu, terikat pada momen bersama Geraldine. Terikat waktu bersama Geraldine adalah sesuatu yang paling membuatnya merasa ada selama perjalanan kemarin. Tentu Ananta tidak akan membuatnya menjadi sia-sia, tidak akan melupakan bahkan menyesalinya. Sembari mencoba mengusir sosok Inneke dan Amanda. Dua wanita yang menjadi bagian dari perjalanan absurd yang tak terjadwal, perjalanan nekat, bahkan Ananta belum paham betul apa maksud tuhan menggerakkan fisiknya.

Masih di apartemen, Geraldine berbaring. Melihat ponselnya, satu foto Ananta yang tengah memakai setelan jas terus membuatnya tersenyum sendirian. Bibirnya mengembang, sembari sesekali memikirkan apa yang baru saja terjadi, di atas ranjang bersama Ananta bahkan lebih liar yang bisa dia lakukan bersama Niko. Geraldine masih bisa merasakan sentuhan Ananta di payudaranya. Merasakan lembut bibir Ananta, merasakan gigi Ananta yang mengigit bibirnya. Semuanya masih tergambar jelas di dalam kepala. Sampai Geraldine lepas dalam ombak, tidak sadar bahwa tanganya telah cukup lama memainkan vaginanya. Seorang wanita orgasme sendirian, sungguh kasihan.

Merasakan udara pertama di Jakarta, hanya Ananta satu-satunya orang yang tak membawa tas, koper atau bahkan kardus. Melangkah keluar, mengambil koran di sudut ruang tunggu, menuju area parkir, mencari mobilnya. Cuaca sangat cerah, berbeda saat Ananta berangkat, membelah hujan dari rumahnya. Hampir pukul sepuluh, setelah menemukan mobilnya, Ananta langsung tancap gas menuju kantornya yang terletak di Pusat Kota. Jalanan lengang, membuat Ananta berani berkendara diatas kecepatan normal. Sepanjang perjalanan, Ananta terus melihat gedung-gedung tinggi yang dilewati. Sesuatu yang paling dia rindu di Jakarta. Melihat gedung dari dalam mobilnya adalah rutinitas. Seperti vitamin baginya. Menikmati perspektif ruang yang ada di dalam kota.

Geraldine melakukan aktivitas seperti biasa. Pergi bekerja. Belum cukup tidur semalam bisa membuatnya melupakan momen itu. Selama perjalanan hanya ada sosok Ananta di kepalanya. Geraldine terus mencoba mengusirnya, tapi terus gagal. Jarak dari apartemen ke tempat kerjanya cukup jauh. Satu kali naik kereta, berhenti di stasiun kedua lalu berjalan kaki sejauh setengah kilometer. Sejauh itu pula Geraldine berusaha memanipulasi pikirannya, mencoba memikirkan hal lain, selain Ananta. 

Mobil Ananta berhenti tepat di depan lobby kantor, seperti biasa, menyerahkan kunci mobil pada salah satu karyawannya. Beberapa orang menyapanya, Ananta membalas dengan senyum. Ruangannya ada di lantai lima. Sekretarisnya telah menunggu disana. Membawa beberapa berkas yang perlu dilihat dan ditandatangani. Lift terbuka di lantai lima, Ananta langsung bisa melihat Maria berdiri tegap di depan pintu ruangannya. Heels dan rok hitam diatas lutut membuat kakinya yang putih bersih terlihat. Mata Ananta menyapu hingga rambut Maria yang terkuncir, blus merah marun membuat pancaran auranya keluar dengan sempurna. Ananta tersenyum, dia selalu suka dengan tampilan Maria.

“Selamat Pagi, Pak Ananta,” Senyum Maria, bersemangat.

“Hush... Aku ini calon suamimu,” Bisik Ananta, mengecup pipi Maria.

“Iyaa, aku tahu,” Maria menggoda, mengecup bibir Ananta singkat.

Ananta masuk ke ruanganya, Maria mengikuti di belakang, menutup pintu lalu menguncinya. Ananta duduk di sofa cokelat, Maria meletakkan berkas-berkas yang dibawanya. Maria melepaskan kedua heelsnya, berjalan menghampiri Ananta penuh goda, lalu melepas kancing blusnyaya—membiarkannya tergeletak di lantai. Bra hitam dan rok hitam menyatu dengan kulit putihnya, sampai Maria berada tepat di depan Ananta yang duduk rileks dan santai. Maria membuka resleting roknya, menurunkan roknya pelan-pelan, dengan sedikit menari—menggoda Ananta. Maria membuka ruang diantara kaki Ananta lebih lebar, kedua tangannya memegang kedua lutut Ananta. Dengan singkat, Maria telah berada dipangkuan Ananta. Menggeliat dan terus menggoda.

“Oh come on... Aku bahkan baru sampai,” Ananta mencium bra hitam Maria.

“Kamu...” Maria memegang kepala Ananta.

Ananta mengehela napas, menghirup aroma wangi Maria, tanganya berusaha membuka kait bra Maria. Hingga terlepas, membiarkannya jatuh ke lantai. Ananta masih dalam ritme pelan mencium kedua payudara Maria, tangannya turun, mengelus bokong Maria. Ananta menggigit puting Maria, membuta Maria merintih matanya menatap langit-langit. Maria belum membuka pakaian Ananta. Hal yang memang biasa dilakukannya. Wanita yang tidak buru-buru.

“Stop!” Ananta menghentikan semua gesture tubuhnya. Maria tertawa, melihat Ananta yang berlalu menuju meja kerjanya. Ananta perlu membuka emailnya, ada pekerjaan yang perlu dilanjutkan setelah beberapa hari tertunda.

“Pakai bajumu,” Ucap Ananta melihat Maria yang duduk di sofa, masih berusaha menggodanya.

“Mar, Maria...” Senyum Ananta, dibalas Maria lembut. Maria memakai branya dihadapan Ananta. Memakai blus dan rok hitam. Ananta terus menyapu habis lekuk tubuh Maria yang indah. Wanita paling seksi di kantor. Maria memakai heelsnya, mengambil berkas-berkas lalu menghampiri Ananta.

“Ini... Tolong di cek, Pak Ananta,” Maria meletakkan berkas-berkas di meja Ananta, mengecup pipi Ananta lalu berlalu, pergi.

“Terimakasih, Sayang.”

“Sama-sama.”

Banyak email yang masuk. Tapi, hanya dua email yang menarik perhatiannya. Email dari Inneke dan Amanda. Weekend ini Inneke free dari penerbangan. Amanda akan liburan selama satu bulan di Indonesia, sendirian tanpa suami. Keduanya meminta waktu untuk bisa bertemu. Ananta tersenyum, menggeleng pelan—puas. Merasa semesta masih memihaknya. Ananta merebahkan tubuh di kursi kerjanya, menatap layar komputer, terus tersenyum. Hingga dia dikagetkan suara ponselnya, satu panggilan masuk. Dari Niko. Ananta langsung mengangkatnya.

“Hallo, Nik??”

“Kata Gege, lo udah balik??”

“Iyaa udah nih, baru aja. Kenapa??”

“Enggak... Gue mau ke Jogja, nih. Lo Ikut ya.”

“Mau ngapain??”

“Liburan lah, ada Si Gege juga kok. Dia besok balik ke Indo, ambil penerbangan pagi.”

Ananta terdiam.

“An??”

Ananta tersenyum sekali lagi.

“Gimana, An??”

“Ayo-ayo aja aku mah.”

“Asik... Okedeh, ntar gue WA detailnya. See you soon, bro.”

“Siap!”

Ananta menutup panggilan, meletakkan ponselnya, bangkit berdiri mengepalkan kedua tangan dengan tekanan penuh. 


-----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Wednesday, November 16, 2016

SORE DI MATAMU


“Oke, so let’s play the game,” Seorang pria menenggak habis secangkir espresso.

“Mau mulai darimana??” Tanya seorang wanita.

“Sebelum pulang, kita buat taruhan.”

“Taruhan??” Si Wanita menatap penuh curiga.

“Berani??”

“Oke…” Kata Si Wanita dengan jawaban mengambang.

Sebelumnya, mereka bertemu di media maya. Entah siapa yang memulai. Seperti ada kesengajaan yang dibuat begitu rapih dan tidak terburu-buru. Ada perasaan yang mengantung pada diri Si Pria, entah perasaan macam apa itu. Barangkali Si Wanita sama, tapi dia berusaha menutupinya. Hal yang biasa dilakukan seorang wanita ketika percikan timbul di hatinya.

Hujan sore itu menghalangi mereka untuk pulang lebih cepat. Bahkan alam-pun masih ingin melihat mereka berdua, menikmati kecanggungan yang terus mencoba diusir paksa dalam diri, namun terus gagal. Tidak ada yang mengerti apa yang baru saja terjadi. Keduanya menyerahkan itu semua pada perasaan masing-masing. Bertanya satu sama lain. Memberi pesan terselubung diantara Kata. Si Pria menangkapnya dengan mudah. Si Wanita, terus belagak bodoh, padahal dia pintar, paham, mengerti apa pesan yang hendak disampaikan.

Dua tiket nonton menjadi bukti dimana dua pasang mata baru saja saling tatap di dalam kegelapan. Di dalam teater yang menyuguhkan satu film bertema perang. Ada yang mengganggu pikiran Si Pria. Dia menganggap ini tidak benar. Tidak dalam artian kenapa bukan mengapa. Pikiran memang mudah dimanipulasi. Hati-pun demikian, dia bahkan lebih ekstrim—mudah dibolak-balik. Meski hanya tuhan yang bisa melakukan hal itu.

“Starbucks??” Si Wanita menawari.

“Starbucks yaaa??” Si Pria tidak yakin.

“Why??”

“I’m not sure,” Si Pria dengan nada pelan.

“Oke… kita kesini??” Si Wanita menunjuk satu toko donat.

“Boleh,” Si Pria tersenyum.

Cukup bagi Si Pria untuk mengunjungi Starbucks. Tempat itu terlalu ambigu untuk didatangi. Disana, ada perasaan yang ditinggal dan tidak ingin lagi disentuh. Si Pria merasa perlu menghabiskan waktu dengan Si Wanita tanpa ada bayang-bayang dari masa lalunya. Masa yang paling dihindari manusia, masa yang sebenarnya tidak punya salah apa-apa. Manusia selalu mencari alasan pembenaran yang melibatkan langsung masa lalunya, menghina, mencaci, menghardik. Padahal, dia sendiri yang menciptakan masa lalunya.

Si Pria senang, senyum di bibir Si Wanita terus mengembang. Artinya, Si Wanita mulai nyaman, meski dia harus memaksa menahan sesuatu yang ada di dalam dirinya. Ungkapan jujur yang hanya menunggu waktu untuk keluar atau barangkali dipaksa keluar oleh orang lain. Wanita memang makhluk paling spesifik. Siapapun pria yang memahami detailnya, selalu bisa membuat mereka merasa menjadi wanita paling beruntung. Setidaknya bagi Si Pria. Karena kenyamanan selalu datang tiba-tiba. Tidak tertebak, seperti racun sianida yang langsung mencekat, membunuh—menghilangkan nyawa.

Hari itu Si Pria memakai celana panjang hitam dan baju warna merah marun. Tampilan sederhana yang sangat disukainya. Dengan topi hitam dan tote bag yang selalu dia bawa kemanapun. Si Pria merasa tidak perlu mendeskripsikan bagaimana tampilan Wanita pendek yang duduk di depannya, yang dipisahkan meja bundar kecil di toko donat itu. Wanita itu sungguh menawan meski mendung di luar sangat pekat.

“So, gimana perasaanmu hari ini??” Tanya Si Pria.

“Not pretty sure. Tapi, aku merasa bahagia hari ini,” Si Wanita menjawab girang.

“Aku juga nggak cukup yakin,” Kata Si Pria.

“Kenapa??”

“Aku yakin, yang barusan itu cuma jawaban spontan. Untuk menutupi jawaban sebenarnya.”

“Kamu sok tahu,” Warna merah mulai muncul di pipi Si Wanita.

“Oke…” Si Pria terkekeh.

“Jadi gimana filmnya tadi??” Tanya Si Wanita.

Si Pria tidak peduli dengan filmnya. Sebelumnya, dia memang sudah menontonnya saat penayangan hari pertama. Tapi Si Pria  merahasiakannya. Si Pria hanya butuh pertemuan. Wanita itu adalah manifesto pertemuan sempurna yang diharapkan. Saat Si Wanita mengutarakan pandangannya tentang film itu, Si Pria hanya tersenyum dan sedikit menanggapi. Wanita itu begitu manis, polos. Masih terus mencoba menutupi rasa grogi yang terus saja muncul.

Si Wanita tidak tahu, sepanjang film, berulang kali Si Pria menatapnya, melihatnya diantara senyum dan debar jantung yang tidak terkontrol. Benar-benar tidak peduli dengan film yang sebenarnya sangat disukai. Si Pria menatap sisi kanan mata Si Wanita, begitu lembut, meneduhkan.  Saat Si Wanita menoleh untuk menanyakan sesuatu hal, Si Pria dengan gerak sigap langung belagak serius menonton. Sembari menahan kecanggungan yang merajai tubuh. Ketakutan untuk ketahuan dan dipergoki.

“Aku suka baca blogmu, loh,” Si Wanita antusias, setelah menyeruput coffee latte.

“Serius?? Suka yang mana??”

Si Wanita mengambil ponselnya, jarinya beradu dengan layar. Si Pria terus menatap setiap detail Si wanita.

“Ini,” Si Wanita menunjukkan ponselnya. Satu judul cerita yang familiar bagi Si Pria. Cerita tentang masa lalunya, cerita tentang kemungkinan dia berhenti dalam urusan cinta. Si Pria hanya tersenyum. Sesungguhnya dia paling tidak ingin membahas cerita itu.

“Kenapa diem?? Ini udah aku baca berkali-kali, loh.”

“Ohiya?? Kenapa gitu??”

“Nggak ngerti juga sih. Berasa deket aja.”

“Deket??”

“Iya deket, berasa kenal aja sama tokohnya.”

“Kamu sok tahu,” Si Pria terkekeh.

Ada jeda setelahnya. Masing-masing memainkan ponsel—mencoba mengusir canggung yang baru saja datang tanpa permisi. Meski sebelumnya telah banyak obrolan yang mempir di bibirnya dan di bibir Si Pria. Soal banyak hal, bahkan hal-hal yang membuat pengujung lain terpaksa curi-curi untuk mendengarkan karena obrolan yang menantang dan menarik. Sesekali Si Pria perlu menahan Si Wanita karena suaranya yang mengundang perhatian banyak orang. Obrolan itu terus berlanjut sampai pada obrolan soal perasaan.

“Kamu tahu, kenapa hubunganmu nggak pernah lebih dari enam bulan??” Tanya Si Pria.

“Karena nggak cocok,” Kata Si Wanita setelah meminum coffee latte.

“Bukan. Kalo nggak cocok kamu nggak mungkin bertahan lebih dari satu bulan.”

“Terus??” Tanya Si Wanita.

“Kamu main-main sama perasaanmu. Kamu pacaran karena gengsi lihat temen-temenmu pacaran, sedangkan kamu enggak.”

“Eh, ya nggak gitu,” Si Wanita cepat membalas.

“Jangan membela diri… Jujur, selain gengsi. Kenapa kamu pacaran??”

“Karena nafsu!” Tegas Si Wanita menjawab.

“Salah… Aku yakin kamu belum pernah ciuman, kan??” Si Pria menggeleng pelan.

“Kok tanya gitu??”

“Karena kamu masih membela diri. Jawab seadaanya, spontan. Tanpa mikir matang-matang.”

“Memangnya wajar, orang pacaran ciuman??” Tanya Si Wanita.

“Bagiku wajar… Oh come on, nggak ada istilah pacaran sehat. Itu semua bullshit. Mereka di belakang diam-diam penuh dengan nafsu.”

“Itu wajar??” Tanya Si Wanita.

“Wajar! Aku nggak mau munafik seperti kamu. Kita perlu sadar budaya macam itu datang dari barat. Pelan-pelan jadi bagian dari gaya hidup kita.”

“Oke…” Kata Si Wanita, kalimatnya mengambang.

“Kamu tahu, dalam hal ini kenapa wanita nggak lebih bahagia dari pria??”

“Kenapa??”

“Karena soal cinta, wanita masih diperngaruhi teman-temannya. Pilihanmu pasti terpengaruh sama temen-temenmu. Sadar atau tidak.”

Si Wanita terdiam, sekali lagi.

“Kamu tahu, kenapa hubunganmu nggak pernah lebih dari enam bulan??” Si Pria bertanya sekali lagi.

“Karena gengsi.” Kata Si Wanita.

“Karena kamu belum pernah ciuman.”

Si Wanita terdiam, ada yang mengganggu pikirannya. Perasaanya terus bergejolak. Pria di depannya telah membuka matanya. Pria di depannya telah membuatnya terpesona untuk urusan berdebat. Untuk urusan obrolan panjang yang dicari banyak wanita. Si Wanita ingin membalas dendam, ingin memutar balik obrolan. Dia punya cukup bahan untuk membuka siapa wanita yang masih menghuni hati Si Pria. Saatnya untuk memutar keadaan, pikir Si Wanita.

“Aku tahu siapa wanita itu.”

“Jangan sok tahu,” Kata Si Pira, memainkan ponsel.

“Yaa. Aku nebak aja sih.”

“Oke… Aku dengerin,” Si Pria beralih menatap Si Wanita.

“Tapi kamu harus akui kalo memang bener.”

“Kamu cukup lihat ekspresiku aja, kira-kira gimana.”

“Ini kan??” Si Wanita menunjukkan ponselnya. Foto seorang wanita.

“Hmm… Bisa jadi iya, bisa juga enggak,” Si Pria tersenyum.

“Tapi aku yakin.”

“Bagus dong kalo yakin.”

“Jadi bener, kan??”

“Kalo kamu yakin, berarti kamu punya keyakinan.”

“Yeee… Bener nggak??” Si Wanita setengah kesal.

“Menurut kamu??”

“Menurutku sih iya.”

“Bisa jadi iya, bisa juga enggak,” Senyum Si Pria menatap Si wanita.

Mereka terdiam, cukup lama. Memainkan ponsel masing-masing.

“Oke… Aku ceritain sedikit. Tapi jangan bilang siapa-siapa. Meskipun aku tahu mulut wanita, mulut-mulut ember. Oke??”

“Oke,” Si Wanita mengangguk, antusias.

Belum pernah Si Pria berani bercerita soal perasaannya pada masa lalu. Soal perasaanya kepada seorang Wanita yang menjadi tokoh dalam cerita yang sangat disukai Si Wanita. Bagi Si Pria, dalam lembut mata Si Wanita, ada sesuatu yang dapat dia percaya, yang cukup meyakinkannya untuk menceritakan wanita dari masa lalunya pada Si Wanita. Bukan tanpa sebab, Wanita yang duduk di depannya adalah kemungkinan yang paling mungkin bagi hatinya, saat itu. Dan disaat yang sama, Si Pria berani melepas cerita paling rahasianya itu di langit-langit toko donat.

Setelah lama bercerita timbul sedikit perdebatan karena Si Wanita menyarankan Si Pria untuk Move On. Bagi Si Pria, move on adalah hal yang sia-sia. Orang-orang yang tersakiti hatinya, perlu membuka semua kemungkinan yang ada, kemungkinan yang datang pada dirinya. Menyerahkan dan membiarkan tuhan membolak-balikkan perasaan juga hatinya. Karena kesalahan orang-orang yang patah hatinya adalah ketika mereka membina kemunafikannya, merasa sakit namun tidak pernah berusaha mencari obatnya. Tidak pernah membuka kemungkinan bagi orang-orang yang bisa dan bersedia mengobati rasa sakitnya.

Move on bukan soal melupakan atau mengikhlaskan. Move on adalah daya tipu, jalan berputar yang lebih jauh. Padahal ada jalan lurus yang sangat dekat dan bisa ditempuh dengan mudah. Mudah jika berani membuat dan membuka semua kemungkinan yang ada. Seorang yang tidak bersedia mengingat masa lalunya sama saja buta dengan masa kini dan bisu akan masa depan.

-----

“Jadi, apa taruhannya??” Si Wanita bersemangat.

Si Pria terdiam cukup lama.

“Aku deg-degan,” Kata Si Pria, membuat tawa mereka pecah.

“Kamu ih, jangan bikin penasaran.”

Si Pria terdiam lagi.

“Aku ragu mau bilang ini.”

“Kenapa ragu??” Tanya Si Wanita.

“Ini masalah sensitif. Aku bisa kamu benci setelah ini.”

“Ayolah…” Si Wanita memohon.

Si Pria terdiam. Si Wanita menatapnya begitu dalam. Penasaran akan apa yang keluar dari bibir Si Pira setelah ini.

“Entah kapan. Suatu saat nanti. Bibirku bisa menyentuh bibirmu,” Si Pria mengucapkannya dengan cepat. Ada kelegaan setelahnya.

“Nggak mungkin,” Si Wanita menggeleng dan tertawa.

“Responmu barusan bukan untuk menutupi responmu sebenarnya, kan??” Tanya Si Pria.
Si Wanita terdiam.

“Oke kita taruhan… Aku bilang ini nggak mungkin,” Kata Wanita setengah tertawa.

“Aku mungkin.”

“Deal??” Si Wanita mengajak bersalaman.

“Deal!” Si Pria membalasnya, mantap.


Mereka beranjak. Saling memberi senyum, lalu berpisah. Beberapa langkah menjauh, Si Pria berhenti, menoleh, berharap Si Wanita ikut menoleh. Beberapa detik menunggu momen itu, Si Pria hanya melihat punggung Si Wanita hingga sosoknya ditelan habis bangunan di sekitarnya. Si Wanita terus memikirkan tentang taruhannya di sepanjang jalan pulang. Si Pria lega karena telah membuka satu lagi kemungkinan yang ada.


-----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, November 13, 2016

MUSIM DI KAMARMU


Di ranjangmu musim berganti
ada nyanyian riang dari balik guling

Di kamarmu kemarau berbisik
dingin hilang dari lantai penuh telisik

Di lemarimu hujan menguping
ada hidup yang berteriak minta di banting

Dari balik jendela aku merintih
melihat tubuhmu menggeliat penuh gigih

Musim di kamarmu menyatu
memaksa logika untuk diadu


Semarang, 14 November 2016
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.