Thursday, June 29, 2017

Seorang Wanita yang Menciumku di Bawah Tangga


Aku tak paham bagaimana konsep Tuhan membantu mengobati luka hambanya. Semalam aku memimpikanmu, bagian dari hidup yang sudah lama tak kurasakan lagi. Ini seperti berada di tengah lautan sunyi. Aku tak bahagia, juga tak merasa rugi. Karena aku memimpikan seseorang yang sama sekali tak mungkin bisa kugenggam. Aku merasa patah hati. Sesuatu yang sudah lama tak kurasakan, dan sesuatu yang sudah lama ingin kurasakan lagi. Karena patah hati telah membawaku sampai di sini.

Aku bermimpi, kamu menungguku di bawah tangga. Kamu mengenakan baju sabrina warna putih dan rok hitam longgar di bawah lutut. Aku bertanya; kenapa harus di bawah tangga? Apa maknanya. Kamu adalah wanita itu, yang selama ini menjaga moodku dan membawanya entah ke mana, aku seperti dibawa pada sebuah ruang ilusi di mana selalu ada kamu di sampingku.

Seketika aku berpikir; barangkali kamu menjadi moodbost orang lain. Tapi kamu tak pernah tahu, orang itu juga tak mencintaimu; dia merasa moodnya jadi baik saat kamu ada. Hari ini pikiranku dipenuhi bayanganmu, aku merasa seharusnya itu tak terjadi. Aku selalu berusaha mencoba bijak memahami segala sesuatu apalagi yang melibatkan wanita. Tuhan selalu memberikan kode-kode misterius yang harus kupecahkan sendiri. Dia Zat Maha Agung, Maha mencintai permainan.

Ada kekosongan yang bahkan tak sudi kuisi. Sepertinya dia menunggu siapa pun yang hendak mengisi, mengobatinya lalu sembuh. Bahwa seharusnya kita tak boleh lagi melihat seseorang dari apa yang terlihat, aku selalu jatuh cinta pada orang-orang yang tak malu menunjukkan kemampuan & pemikirannya. Artinya dia merdeka; tak terbelenggu oleh apa pun.

Aku memimpikanmu, Vii. Bahkan disaat aku tak mencintaimu, mungkin kamu tahu itu. Aku juga sering bilang, bahwa kamu adalah penjaga moodku yang paling pintar. Aku ingin bicara apa adanya; aku ingin istirahat untuk mencintai. Sudah saatnya aku memukul rata semuanya. Tak ada lagi pandang bulu, aku merasa telah memberikan seluruh cintaku pada semesta, pada penghuni alam ini, dunia ini. Tak ada lagi yang bisa kuperbuat selain meneruskan perjuangan ini, menyembuhkan orang-orang sekarat yang tak tahu diri, tak pernah mengucapkan terima kasih.

Vii, aku bermimpi, kamu menciumku di bawah tangga besi. Sejak aku mendedikasikan diri dalam dunia literasi, aku tak pernah meremehkan makna mimpi, aku percaya; itu adalah gambaran yang Tuhan kirim. Kamu adalah wanita pertama yang masuk dalam mimpiku setelah sekian lama. Setelah patah hati terhebatku yang terakhir. Yang membuatku menjadikan wanita itu sebagai tokoh utama dalam novelku.

Rasanya tak ada lagi yang perlu kuperbuat, cinta telah dikunci, kenangan telah mengendap. Memori telah berubah. Lalu, aku sendiri bertanya; Apa maksud semua ini? Memimpikanmu, mengobati para wanita yang datang menghampiriku dan mengaku patah hati. Atau sekedar pergi bersama seorang wanita yang minta ditemani. Aku berpikir Tuhan sedang membantuku untuk keluar dari perasaan aneh ini. Tapi sekali lagi, itu semua tak efisien, tak berhasil. Tak ada koneksi yang kuat. Tak ada.

Semalam aku bermimpi, seorang wanita menciumku di bawah tangga. Bahkan aku ingat bagaimana situasi saat itu, bagaimana rasanya. Aku tak pernah bisa membedakan di mana ruang mimpi dan di mana kehidupan nyata yang terjadi. Semua sempat kujelaskan dalam novel pertamaku. Bahwa semua itu nyata, bahkan aku bisa menjadi arsitek bagi mimpiku sendiri. Aku bermimpi, dalam sekian detik setelah kamu menciumku, aku merasakan kehangatan yang kau ciptakan di antara peluk. Kamu memelukku, lalu mimpi itu berakhir dengan aku yang membuka mata & tersenyum di atas kasur, meringkuk sendirian. Aku rindu kamu, Vii, bahkan ketika kita belum pernah bertemu.

Untuk siapa pun yang membaca ini, jangan persempit duniamu. Jangan menilai orang lain dari apa yang terlihat saja. Barangkali ada yang dia tahan, ada yang dia pendam sejak lama. Ada yang masih dia cinta tanpa butuh balasan, dia hanya diam, dan terus memelihara seseorang itu di dalam hati dan pikirannya. Karena, bukankah cinta yang tulus adalah cinta yang tak diucapkan?
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, June 23, 2017

Sejak,


Sejak kabarmu akan pergi,
aku berpikir untuk membunuhmu
di detik terakhir.
Sejak tangis menjelma banjir di tubuh,
kuasa adalah
hal yang tak terikat.
Sejak rindu tertanam pada kelopak matamu,
aku menunggu tokoh yang 
memisahkan kau dan aku.
Sejak kematian merenggutnya dariku,
aku selalu bertanya; adakah
ruang tercipta setelah itu?
Namun kita tahu,
kau dan aku adalah jarak
yang sembunyi di antara sajak.
Seperti pikiran yang dipendam dalam diam,
aku meraba suaramu digetar yang bungkam
mendiami sisi gelapmu yang hilang.
Adakah sepi
merambat di dinding kamarku?
Dan lagi,
Keindahan adalah kita,
yang tersisa di antara duka.

Semarang, 23 Juni 2017


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, June 18, 2017

Ed & Talia #5


Ed dan Talia melakukannya seharian, hingga bintang bertaburan di langit. Malam tak lagi menyisakan arti bagi orang-orang yang saling menyetubuhi, baginya tak ada waktu saat sentuhan-sentuhan bertemu, saat mereka merasakan keringat yang sama. Di atas ranjang yang sama Talia masih terus menatap Ed yang tertidur setelah permainan mereka yang cukup keras. Pria selalu kalah soal ketahanan seks, dalam Novel Eleven Minutes karya Paulo Coelho disebutkan bahwa pria hanya butuh tujuh menit untuk mencapai orgasmus, atau mampu bertahan hanya sebelas menit saja dalam berhubungan seks.

Lewat satu jam setelah pertama kali Ed menutup matanya, Talia masih terus menatap, sesekali mengecup kening Ed. Talia membangunkan Ed setelah ia mengecup singkat bibir Ed. Ed mulai terbangun, berulang kali mengedipkan mata untuk memfokuskan penglihatan, tersenyum saat melihat Talia dalam balutan selimut putihnya, mereka masih telanjang bulat di dalam selimut. Ed mengucek kedua matanya, lalu mengecup bibir Talia.

“Kamu mimpi apa?” Tanya Talia.

“Mimpiin kamu,” goda Ed, tengkurap memeluk bantal.

“Ah, dasar gombal,” Talia menampar lembut pipi Ed.

“Ini jam berapa, sih?”

“Jam sepuluh.”

Ed mengubah posisinya, menahan kepala dengan tangan kanannya—menatap Talia, berulang kali mengelus pipi dan menyingkap rambut Talia yang jatuh. Romantisme terlihat dari kedua mata mereka, tak  ada yang mampu mencegah hubungan itu, seks telah membawa manusia jauh sebelum adam dan hawa tahu. Karena seks adalah suatu komitmen, saat kamu merasakannya, kamu tak akan bisa berpegangan tangan, kamu akan sepenuhnya menyerahkan dirimu pada orang lain, dan saat itu semua terjadi, kamu sepenuhnya rentan—mental atau pun fisik. Judy Blume menjelaskan pada bukunya berjudul Forever di tahun 1975.

“Eh, Ed. Cerita di blogmu tentang kita nggak dilanjutin lagi?”

“Mau dilanjutin?” Tanya Ed.

“Iyalah, naggung kalo ceritanya cuma sampe segitu doang,” ujar Talia, memanyunkan bibir.

“Ntar ya, dilanjutin, aku mau fokus sama kamu dulu,” tangan kiri Ed merangkul Talia, mereka semakin berdekatan.

“Kamu yaa, jago bikin penasaran orang.”

“Iyadong, di sini jago juga, nggak?” Ed menggoda Talia.

Sekali lagi Ed mencium Talia, kakinya berulang kali menyentuh kaki Talia di dalam selimut. Tangannya meraba di balik selimut, Talia memejamkan mata, merasakan getaran dan koneksi yang kuat. Ed menciumi leher Talia. Momen itu terhenti saat ponsel Talia berdering. Buru-buru Talia mengambil ponselnya di atas nakas. Singkat melihat, lalu Talia mengangkat panggilan itu, keluar dari selimut—masih telanjang. Ed tersenyum melihat kulit Talia yang mulus langsat.

Ed tak suka melihat Talia tersenyum mendengar ucapan seseorang dari balik bilik ponsel, ada dunia yang diambil darinya. Ed bangkit, menghampiri Talia, memeluknya dari belakang—mencium leher belakang Talia. Napasnya menyentuh kulit Talia. Talia menghindar, merasa terganggu. Ed tak suka melihat perubahan mood dari Talia. Buru-buru Ed merebut ponsel dari tangan Talia.

“Siapa, nih?” Kata Ed sedikit kesal.

“Jangan Ed!” Talia memohon, Ed menahan Talia. Ed mengernyitkan dahi, merasa familiar dengan suara di balik panggilan itu. Ed melihat nama yang terdaftar dalam panggilan, menatap Talia lalu memutus panggilan itu.

“Dia siapamu?” Tanya Ed. Talia tediam.

“Dia siapa, Talia!” Teriak Ed. Talia masih terdiam.

Ed membuka ponsel Talia, mencari tahu apa hubungan Talia dan pria itu. Ed mengenal pria yang menelpon Talia, dia pria yang telah menulis satu buku yang sempat menggemparkan dunia literasi di Indonesia karena mengankat genre futurisme dalam bukunya. Ed sering membaca tulisan-tulisan di blog pria itu. Ed sedikit iri karena tulisan yang dihasilkan pria itu lebih bagus daripada tulisan-tulisannya. Ed sempat membeli dan membaca buku pertama pria itu, dan sumpah demi apapun, Ed menyukainya. Premis soal kehidupan setelah perang dunia ketiga membuatnya jatuh cinta.

“Ini, kenapa romantis banget chatnya?” Tanya Ed, Talia terdiam—mengenakan pakaiannya.

“Kenapa diem aja, Talia?” Tanya Ed sekali lagi, melihat percakapan di ponsel Talia.

Mengetahui kenyatan itu, Ed melempar ponsel Talia ke atas kasur, lalu mengenakan pakaiannya. Talia mengambil ponsel itu, mengabari si penulis yang menelponnya—menjelaskan semuanya. Talia tak pernah sulit menjelaskan sesuatu yang rumit kepada pria itu. Si Penulis selalu menerima penjelasannya. Talia melihat foto yang dikirimkan Ed—foto dirinya telanjang.

“Jadi, aku selingkuhamu atau dia selingkuhanmu?” Tanya Ed, masih sibuk mengenakan pakaiannya.

“Itu semua tergantung dari caramu melihat.”

“Ini apaan sih, yang jelas, deh. Jangan berbelit,” suara Ed meninggi.

“Ya, menurut kamu gimana?” Tanya Talia, menantang.

“Kita udah sejauh ini loh, Talia…” Ed memelas, gestur tangannya menunjuk ranjang di depannya.

“Kita belum sejauh itu, Ed. Hubungan kita belum kemana-mana,” Talia menggeleng pelan—menatap Ed singkat.

“Gila yaa…” Ed duduk di ujung ranjang.

Tak ada yang paham bagaimana cinta terbentuk. Dari semua kesalah-pahaman tentang cinta, yang paling nyata dan meyakinkan adalah keyakinan bahwa jatuh cinta adalah cinta. Persis kata M. Scott Peck, dalam bukunya The Road Less Traveled, di tahun 1978. Banyak orang terlalu hebat menafsirkan cinta, sampai lupa dari mana cinta harus dimulai, banyak orang alpa bagaimana cinta itu ada. Mereka hanya merasakan perasaan-perasaan semu. Tak ada yang nyata, bahkan seks sekalipun.

“Sekarang kamu pilih… Aku atau penulis itu?” Ed menantang.

“Sorry Ed, aku tokoh utama di novelnya… Aku gak mungkin pilih kamu—mustahil,” Talia mengemasi barangnya lalu pergi.

Susan Lydon pernah menulis, bahwa; Sesksualitas wanita didefiniskan oleh laki-laki, untuk keuntungan laki-laki, telah diturunkan dan diputarbalikkan, ditindas dan disalurkan. Kalimat itu menjadi bagian dalam bukunya berjudul The Politics Of Orgasm, di tahun 1970. Banyak pria merasa telah menguasi wanita, saat mereka telah menerima seks atau kenikmatan lainnya. Padahal bisa jadi itu hanya sebuah pelampiasan. Banyak orang tak paham bahwa yang paling menyakitkan dalam berhubungan adalah saat seks dilakukan tanpa cinta. Kau tak sadar bahwa itu adalah kekosongan semata.


 -----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Wednesday, June 7, 2017

Ed & Talia #4


“Kamu lagi nonton apa, Talia?” tanyaku sembari membuat es teh.

“Ini, nih… Kamu tahu, nggak?” tunjuk Talia pada layar laptopnya

Aku melihat layar laptop dari dapur di rumahku, Talia duduk di sofa ruang keluarga, semalam Talia menginap, menemaniku yang menulis kelanjutan episode pertemuan kami. Talia belum membacanya. Semalam Talia tertidur di sampingku yang sibuk menulis tepat di sofa yang sama.

“Another Trip To The Moon, yaa?” tanyaku memastikan.

“100 buat anda, Ed!” teriak Talia, suaranya menggema membentur dinding rumah.

“Ssssttt, ntar kedengeran tetangga,” kataku mengaduk es teh, suara gesekkan sendok dan gelas kaca terdengar hingga telinga Talia.

“Kamu bikin apa itu? Aku bikinin juga, dong,” Talia memohon, setengah menggodaku dengan air muka yang manja.

“Mau? Aku bikinin, deh.”

“Yeay…”

Talia fokus menonton film, aku membuat satu es teh lagi. Hanya ada aku dan Talia, sepi tak lagi merambat di dinding kamarku semenjak Talia masuk keduniaku. Aku tak kuasa menahan perasan bahagia tiap bersamanya, aku selalu luluh pada sentuhan hangatnya atau tatapannya yang begitu dalam.

“Nih,” kataku memberikan satu gelas es teh untuk Talia.

“Makasih, Ed, baik deh,” Talia menggoda.

“Gombal.”

“Eh, Ed. Kamu udah nonton Daun Di Atas Bantal?” tanya Talia, setelah menekan tombol space pada keyboardnya, film berhenti sejenak.

“Garin Nugroho? Udah… Kenapa emang?” balasku sembari menyeruput es teh.

“Nah! Recommend film yang sejenis itu dong,” Talia memohon, lalu menekan tombol space—film berlanjut.

“Waduh, ini nih sulit… Dalem atau luar? Coba nonton Pasir Berbisik,” kataku, merangkul Talia.

“Pasir berbisik? Yang pemainnya Dian Sastro, bukan? Kayaknya aku udah pernah nonton… Itu film kelas berat,” Talia menoleh, melihatku lalu mencium bibirku singkat.

“Iya, yang sama Christine Hakim juga… Kalo Cinta dalam Sepotong Roti? Bulan Tertusuk Ilalang?” jawabku, setelah Talia mencium.

“Udah… Yang Bulan Tertusuk Ilalang kayaknya belum, deh... Itu tentang apa?” Tanya Talia fokus pada film di layar laptop.

“Coba tonton aja… Eh, Cinta di Saku Celana juga bagus.”

“Cinta di Saku celana udah juga… Berarti nonton Bulan Tertusuk Ilalang dulu, deh.”

“Sekarang?” tanyaku memastikan.

“Ntar aja, deh,” jawab Talia, menutup laptopnya, film terhenti.

“Lah kok dimatiin?”

“Nggapapa, nggak ada yang lebih menarik dari kamu,” Talia tersenyum menatapku, mencium pipiku singkat.

Aku tergoda, semakin erat merangkul Talia. Aku suka situasi ini, Talia selalu membuatku merasa ada bahkan hanya dengan kata-kata tentang kita. Talia menyandarkan tubuhnya padaku, mengambil ponsel, mulai membuka Instagram.

“Wih, episode dua, nih? Kamu kok nggak bilang kalo udah upload? Baca, ah,” ujar Talia setelah melihat satu postingan di Instagramku. Talia berbalik—menghadap ke arahku, mulai membaca.

Kami duduk di depan sofa, di atas sebuah karpet di antara letak sofa dan sebuah meja kayu yang mengkilap. Talia membaca sembari meminum es tehnya. Sesekali melirikku, tertawa dan tersenyum. Sampai Talia selesai membaca, dia meletakkan ponselnya di atas meja, merangkul leherku singkat.

“Aku kira bakal beda… Ternyata masih percakapan selanjutnya,” senyum Talia menatapku. Senyum yang sama, yang selalu meluluhkanku, lesung pipitnya begitu neurotik.

“Gimana? Bagus nggak?”

“Bagus! Sebagai pembaca aku bisa berimajinasi waktu bacanya… Cuma aku ketawa aja baca percakapannya.”

“Kok ketawa?” tanyaku menyipitkan mata, menatap Talia.

“Yaa ketawa aja, jadi inget percakapan kita waktu itu, persis banget sumpah!”

“Owalah… Tapi nyambung, kan sama ceritanya?”

“Nyambung, kok. Lebih nyambung lagi kalo diterusin,” kata Talia menggodaku—berharap.

“Waduh PR nih kalo minta diterusin,” kataku mengusap wajah Talia.

“Loh kok malah PR?” tanya Talia, kembali bersandar pada tubuhku.

“Iyalah PR, kan kita ngobrol terus, nih... Selama obrolan kita terus berlanjut berarti bakal banyak lanjutannya,” aku mengelus ubun-ubun Talia.

“Emang gak bisa kembangin sendiri pake percakapan imajinasimu?” kata Talia setelah tertawa singkat.

“Itu juga udah ada bagian dari imajinasiku, loh.”

Kami terdiam, aku masih mengelus ubun-ubun Talia, menyisir rambutnya dengan jari-jariku. Kemudian Talia memegang tanganku, menciumnya perlahan, lembut. Seluruh tubuhku bergetar, Talia menurunkan tanganku—merangkul perutnya. Talia menahan geli setelah aku menggelitik perutnya.

“Imajinasimu liar, yaa… Bikin kebayang,” kata Talia memecah keheningan.

“Kamu nih, jangan cuma dibayangin dong,” kataku menggoda.

Talia tersenyum lalu bangkit, menggandeng tanganku, menarikku pelan—membawaku ke kamar tidur. Setelah kami berdua masuk, Talia menutup pintu—masih menggandeng tanganku, lalu menatapku dan tersenyum, melepas kancing teratas bajunya.


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Ed & Talia #3


Satu hal yang pasti dari dua orang yang saling jatuh cinta adalah perpisahan. Aku tak bicara soal perpisahan besar seperti putus status. Perpisahan ini lebih sederhana, saat masing-masing dari keduanya tak rela melepaskan yang lain hanya untuk pergi tidur lebih dulu. Rasanya ingin selalu mendengar kabarnya. Persis yang kurasakan bersama Talia, situasi itu sering kita rasakan, pada suatu malam hal itu terjadi lagi dan aku menikmati perasaan yang bergejolak dalam rongga dada yang sempit.

“Aku mau baca dulu, ya. Kamu tidur duluan aja nggapapa,” ucap Talia dari bilik ponsel.

“Mau baca apa?”

“Eka Kurniawan.”

“Serius? Malem-malem gini baca Eka Kurniawan?” kataku tak percaya.

“Ed, aku kalo baca buku pasti malem, nonton film lebih seneng pas siang… Dan baca Eka Kurniawan nggak akan bikin aku ngantuk sama isi ceritanya,” jelas Talia, sedikit bersemangat.

“Maksudku, malem-malem gini bacanya Eka Kurniawan? Aku capek loh kalo baca novelnya. Butuh fokus yang lebih. Apalagi Cantik itu Luka, frontal sekali,” balasku, sembari melihat jam dinding, malam menunjukkan pukul 11.50.

“Nah, fokusku itu selalu malem, Ed kusayang. Makanya baca buku selalu malem… Cantik itu Luka aku perlu baca satu halaman dua kali. Rasanya harus selesai hari itu juga… Aku suka.”

“Owalah… Aku kalo baca buku paling sebelum tidur, lima sampe sepuluh halaman atau kadang satu bab… Baru aja bulan kemarin aku ketemu Mas Eka di Medini… Orangnya Jaim. Malu-malu tapi mau kalo diajak ngobrol,” ujarku menggoda Talia untuk menutup buku yang sedang dia baca.

“Ih, serius? Terus gimana? Enak buat diajak ngobrol? Ngobrolin apa aja? Aku Kepo…” tanya Talia, terdengar antusias.

“Ngobrol bentar doang sih, Dia ngisi workshop di acara Kemah Sastra, cuma ngobrolin soal blognya dia… Dia aku kasih bukuku,” aku memegang ponsel di tangan kiri. Duduk di luar rumah, suasana sepi, tapi perasaanku selalu ramai karena Talia. Tiba-tiba sesuatu yang gila terbesit dipikiranku.

“Widih, ada rasa bangga gitu nggak, bukunya dibaca Eka? Kok aku envy, ya.”

“Hmm… Berharap Mas Eka ada waktu buat bacanya. Kalo iya pastilah bangga.”

“Pasti dibacalah, Ed. Positif Thinking aja.”

“Iya sayang makasi yaa,” kataku tersenyum sendiri.

“Kalo aku sebelum tidur malah waktunya nulis gak jelas dibuku… Eka jaim tapi kalo nulis frontal sekali, menohok.”

“Iya… Memang banyak penulis yang jaim tapi tulisannya liar. Djenar maesa Ayu misalnya.”

“Ahiya! Aku udah nonton filmnya juga.”

“Filmnya yang apa?” tanyaku.

“Mereka bilang saya monyet.”

“Kalo aku waktu itu nonton Nay lari ke Jogja, karena di Semarang nggak ada.”

“Ohiya? Aku malah belum nonton, Nay… Eh kamu kok nggak jadi tidur, sih?”

“Aku gak pernah bisa tidur, selalu ada kamu di pikiranku,” senyumku, menahan tawa.

“Ah gombal,” kata Talia, suaranya terdengar seperti seorang yang tersipu.

“Aku serius… Coba deh tirai kamarmu buka.” 

“Ada apa emang?” tanya Talia, aku bisa melihatnya membuka tirai lalu kaget melihatku berdiri tak jauh dari jendela kamarnya. Talia tersenyum, aku menutup panggilan itu.

“Astaga kamu,” Talia melempar ponselnya ke ranjang tidurnya, lalu membuka jendela kamarnya dan menyilahkanku masuk.

Kamarnya dipenuhi tempelan di dinding-dindingnya, mulai dari foto-foto dari kamera polaroid hingga stiker dinding yang khas dengan kehidupannya. Warna cat kamarnya merah muda, sprainya kebiruan, sudah rapi dengan bantal dan guling yang ditata sejajar. Pintu kamarnya dibiarkan terbuka. Talia sering sendirian di rumah. Lagi pula, orang tuanya tak mempermasalahkan jika aku sering diam-diam masuk ke rumah melalui jendela kamar Talia.

“Akhirnya, sampe kasur,” kataku setelah berbaring di ranjang kamar Talia.

“Enak aja, kasur aku nih,” Talia menutup jendela dan tirai.

“Kamu baca buku Eka yang mana, sih?” kataku mengambil buku O karya Eka Kurniawan di atas kasur.

“Dasar orang gila, tiba-tiba udah di sini aja,” Talia memukulku dengan guling.

“Biarin,” godaku, menjulurkan lidah. Talia mengambil ponselnya lagi, seketika aku teringat storiesnya di instagram beberapa jam yang lalu.

“Itu storiesmu kenapa?” tanyaku masih berbaring, menatap langi-langit kamar.

“Ah biasa, kejenuhan anak negeri.”

“Aku juga ngerasain banget, dinyinyirin, dihujat, diiriin. Rasanya mau bilang, ‘All you can do just comment negative? That’s All? Show me what you can do, because i don’t have time for you… Sama-sama jenuh juga sebetulnya,” kataku, mengelus punggung Talia.

“Ketika berkarya dikritik, enggak berkarya dikritik, buat kesalahan juga dikritik. Semua dikritik. Semua penuh kritikan, minim apresiasi. Sekarang jamannya menghujat lebih asik ketimbang menghargai. Biar viral masuk lambe turah,” jelas Talia, nadanya sedikit kesal.

“Astaga lambe turah,” balasku, menahan tawa.

“Bener, kan? Akhinya banyak anak muda justru berkarya hal-hal yang aneh, gak berfaedah, biar viral, gak ada manfaatnya buat negeri, Cuma bermanfaat buat pemasukan kas sehari-hari… Capek bikin karya yang apik, toh gak ada yang mengapresiasi,” Talia ikut berbaring di sampingku.

“Tapi kita tetap harus optimis, karena perubahan tidak terjadi secara instan… Perubahan ke arah yang lebih baik cuma bisa dilakukan kalo ada yang berani memulai.”

“Optimis pasti optimis, Ed. Kalo ada orang yang bikin perubahan ke arah yang lebih baik malah dihujat, yaa pasti down, kan?” Talia memegang tanganku.

“Aku sih optimis lambe turah tutup akun,” kataku menggoda, Talia tertawa lalu memukul perutku, membuatku tersedak—batuk.

“Cuma sedikit orang yang mampu berdiri di atas hujatan orang lain. Cuma sedikit yang bertahan sama pikirannya, dengan banyak sindiran pesimis dari orang lain. Ketika ada orang yang kayak gitu, malah dibuat gugur secara paksa… Welcome To Indonesia,” ujar Talia, menatapku, tubuhnya miring, menghadap padaku. Aku masih menatap langit-langit kamar.

“Bukan Indonesianya, sayang,” kataku, memiringkan tubuh—menghadapi Talia.

“Emang bukan Indonesianya, sih, cuma kalo sebagai orang awam akan mengatakan ini Indonesia. Kalo bilang masyarakatnya—masyarakat yang bagaimana? Apakah ketika disalahkan masyarakatnya terima? Kalo Indonesianya disalahin, eh malah terima-terima aja.”

“So, Welcome to Indonesia, BOOOM” godaku, menjulurkan lidah ke arah Talia. Talia tertawa, mencubit hidungku.

“Tapi, Bali sepertinya bukan Indonesia,” kata Talia setelah beberapa menit terdiam dan kami saling tatap.

“Ahiya Bali!” kataku, bersemangat.

“Bali itu cantik,” senyum Talia.

“Bali itu intim,” kataku, menambahi.

“Kita harus kesana kapan-kapan.”

“Boleh,” senyumku.

“Di Bali itu gak terlalu ngurusin budaya orang lain, tapi mereka tetap menghargai.”

“Iya… Bali itu hangat,” kataku.

“Hangat akan toleransi,” Talia menambahi.

“Hangat karena pelukanmu, Talia,” aku menatap Talia, matanya begitu dalam, kami saling bertukar senyum.

Sehelai rambut Talia jatuh, menutupi matanya, aku menyingkapnya lalu mengelus pipi Talia. Berulang kali aku berkedip, mencoba menghilangkan rasa canggung. Talia mengelus pipiku sembari bersenandung. Aku masih menatap matanya, bagian dari Talia yang selalu meluluhkanku.

Tiba-tiba Talia bergerak, aku pelan-pelan berbaring, Talia tak sepenuhnya menindihiku, tubuhnya masih tepat di sampingku, kita semakin dekat, hingga mampu merasakan detak jantung masing-masing. Talia berkedip dan tersenyum, kakinya menyilang, berada di atas kakiku, Talia meletakkan kepalanya pada rongga dadaku, mendengar detak jantung yang berubah seirama. Aku menutup mata, merasakan telinga Talia yang ikut bergetar karena detak jantungku.

-----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, June 4, 2017

Ed & Talia #2


Kata siapa cinta selalu datang terlambat? Dia ada hanya untuk orang-orang yang siap dan berani memulai. Boleh menunggu tapi tidak untuk selamanya. Ed & Talia memulainya hanya dari percakapan yang sederhana, tatapan yang meneduhkan dan senyuman tanpa malu. Semua ada karena kesadaran penuh, bahwa tak ada lagi waktu untuk memperdebatkan perihal cinta. Cinta ada karena manusia menganggapnya ada.

“Ed, sini deh,” ujar Talia memanggil Ed yang sibuk dengan laptopnya.

“Apa?” tanya Ed menghampiri Talia.

“Nonton film, yuk,” tunjuk Talia pada layar laptopnya, sebuah film sedang diputar.

“Wah, salah satu film Indonesia favoritku, nih,” kata Ed, antusias.

“Seriously? Aku gak pernah bosen nonton film ini… Emosinya kena,” Talia bergeser, memberikan ruang untuk Ed duduk.

“Iya serius. Adegan favorit jelas waktu Nicholas Saputra sama Ayu Shita,” Ed duduk di samping Talia.

“Ah iyaa, pas dia ngintip di pintu,” Talia terenyuh memeluk bantalnya erat, mengingat adegan itu.

“Nah! Itu visi kameranya shahih banget sumpah. Mungkin, film ini tanpa adegan itu jadi kosong,” kata Ed mulai merangkul Talia yang fokus menonton film.

“Iya, itu apik banget. Kayak kunci mereka berdua itu awalnya disitu, jadi kalo nggak ada adegan itu kayak ada yang kurang,” Talia membalas merangkul Ed, mengelus lembut punggungnya.

“Belum lagi yang di Kolam renang… Premisnya hampir mirip-mirip Rectoverso, cuma ini lebih kompleks karena melibatkan fisik.”

“Rectoverso itu yang apa, yaa? Kok aku lupa… Kalo yang di kolam renang tuh alus banget, kerasa ke penonton pokoknya,” Talia menyandarkan tubuhnya ke Ed, kepalanya bertumpu pada pundak Ed.

“Iya… film Indonesia, dari kumpulan ceritanya Dee, beberapa cerita jadi satu film. Yang Lukman Sardi jadi tokoh down syndrome… Sama-sama cinta yang tak terucap,” Ed mencium ubun-ubun Talia.

“Aku nangis nonton itu.”

“Tapi kalo film ini lebih ke cinta yang nggak tahu, alias buta. Dikira cintanya sama, padahal bukan yang diharepin… Kamu mah gembeng,” kata Ed menggoda Talia.

“Serius. Aku nangis waktu Lukman Sardi sadar kalo ada sesuatu yang hilang,” Talia mencari tangan Ed, lalu menggenggamnya.

“Aku lebih suka partnya Dwi Sasono,” Ed membalas, mengelus tangan Talia.

Ed dan Talia terdiam cukup lama, masing-masing fokus menonton film. Ada kehangatan yang tercipta di antara mereka, kehangatan yang datang tak sengaja, datang tanpa ditulis. Jantung mereka berdebar seirama, sama-sama lebih kencang dari biasanya.

“Kamu baca novel-novelnya Dee juga, ga?” Talia mengangkat kepalanya, bangkit, duduk menatap Ed. Tak lagi bersandar.

“Baca dong. Dee jadi salah satu penulis yang bikin aku nulis… Kenapa emang, kok tanya gitu?” Ed melepas tangannya dari punggung Talia.

“Nggapapa, nanya aja. Soalnya setahuku temen-temenku cowok jarang baca novel-novelnya Dee,” kata Talia, menghentikan film.

“Ohiya? Padahal imajinasi Dee itu liar loh, untuk seorang cewek… Kamu udah baca Supernova?”

“Iyaa. Tinggal baca yang Intelegensi Embun Pagi.”

“Aku paling suka Petir, soalnya suka sama Electra.”

Talia menutup laptopnya, tersenyum menatap Ed. Tatapan manjanya terlihat, membuat Ed mengelus singkat ubun-ubun Talia. Setelahnya, Talia menggenggam tangan Ed lalu mengecupnya lembut—pelan.

“Eh Gimana sih biar konsisten nulis? Soalnya aku kalo nulis cuma waktu mood aja, habis itu stuck, terus ganti cerita lagi,” Talia menahan tawa, melepas tangan Ed.

“Hmm… Gimana ya, coba deh baca cerpen terbaruku. Nanti aku kasih tahu.”

“Bentar aku baca, tapi habis itu beneran kasih tahu yaa,” Talia mengambil ponselnya.

“Pasti, kamu bakal familiar sama percakapannya.”

Talia mulai membaca, Ed melihatnya tersenyum, ada perasaan bahagia terpancar dari matanya, Ed terus melihat respon itu, ekspresi Talia meneduhkan Ed. Sesekali Talia melirik Ed—tersenyum. Ed membalasnya, mereka berdua tersipu malu. Sampai Talia selesai membaca.

“Percakapanya! OMG sama persis, gokil. Aku senyum-senyum sendiri bacanya… Itu kan waktu pertama kali kita ketemu, kan?” Talia antusias, menaruh ponselnya kembali.

“Iya… Poinku adalah. Manfaatkan sekitarmu, kalo kamu suka baca itu udah jadi bekal buat nulis. Tinggal disiplin aja.”

“Nah disiplinnya itu… Terus kalo mau nulis aku masih sesuai mood, lingkungan sekitar juga harus mendukung.”

“Coba nulis random aja tiap hari. Jadi terserah mau nulis apa, nggak ada syarat, nggak ada batasan mau berapa halaman. Cari partner yang bisa dukung dan jaga mood kamu.”

“Hmm, agak susah sih yaa cari partner… Kamu pinter banget ngembangin ceritanya dari hal kecil jadi cerita yang apik.

“Tapi suka nggak sama ceritanya?” Tanya Ed, tersenyum menatap Talia yang masih terlihat antusias.

“Suka! Suka banget, to be continued gak?” Tanya Talia antusias.

“Mungkin… Hati-hati bisa jadi percakapan ini jadi lanjutannya,” Ed menggoda.

“Haduh, memang jiwa-jiwa penulis handal sih yaa, aku  mah cuma butiran debu.”

“Jangan gitu ah, aku juga butiran debu kok kalo tanpa kamu. Cuma butuh pengalaman aja sebetulnya,” Ed memegang kedua tangan Talia—menciumnya, lalu melepas gengamannya, mencium pipi kanan Talia. Talia membalas, mengecup pipi kiri Ed.

“Kamu tahu nggak? Banyak orang yang tanya tentang film yang dimaksud di cerita itu, loh… Tapi nggak aku jawab,” kata Ed setelah Talia mengecupnya.

“Nanya yang di cerpen kamu itu? Kok nggak dijawab? Itu kan film Taqwacores”

“Biarin penasaran… Banyak juga yang tanya, beneran inspired by true story apa enggak, aku jawab sekadarnya aja biar makin penasaran,” tawa Ed menghiasi ruang kamar Talia.

“Biar makin banyak yang nungguin lanjutannya, lah yaa,” Talia ikut tertawa. Mengubah posisinya.
Ed duduk bersila, Talia membaringkan tubuh, kepalanya bersandar pada kaki Ed. Talia bisa melihat dagu Ed dari tempatnya berbaring.

“Aku mau tidur, jangan ganggu,” kata Talia pada Ed. Talia berulang kali berkedip menggoda Ed. Lesung pipitnya kentara, bagian yang paling dirindukan Ed, menatap wajah Talia dengan senyum yang menciptakan lesung pipit di pipi kanan. Ed jatuh cinta pada situasi itu. Ed memainkan rambut Talia, menyingkapnya ke telinga, membuat kening Talia tak lagi tertutup rambut.

Talia membuka mata, tersenyum menatap Ed, tatapannya begitu dalam. Ed membalas, tanganya mengelus dagu dan pipi Talia, lembut tanpa tergesa-gesa. Mereka berdua masih saling tatap, Talia ikut mengelus pipi hingga ke bibir Ed. Mengelusnya pelan, memberikan sebuah pesan. Ed menyadari sesuatu, lalu mendekat, jantungya berdebar semakin cepat, Ed semakin mendekat, Talia tersenyum—memejamkan mata, lalu bibir mereka bertemu. Ed menahannya beberapa detik sampai bibir Talia mulai bergerak saling bertaut.


 -----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.