Wednesday, August 30, 2017

Recitativo #1


Hari-hari setelah kepergianmu, pikiranku dipenuhi suaramu. Saya merasa setiap orang adalah kamu. Orang-orang yang menyeberang jalan, yang duduk di kedai-kedai kopi, yang berjalan di tengah malam, atau yang menaiki bus-bus kota. Bahkan mungkin di kematianku yang tak didatangi siapa-siapa saya masih bisa mendengar suaramu. Selamat datang di dunia yang kita bangun bersama. Dunia ini belum lengkap; aku butuh kamu memainkan peranmu.

Jumat, 11 Agustus 2017. Kamu datang, dengan penuh harapan—dengan penuh keterasingan dan rasa bersalah yang ada di pundakmu. Saya tahu itu, saya juga sempat bilang; saya bisa menyerap aura dan perasaan orang lain. Sejujurnya pertemuan itu adalah penantian panjangku. Saya ingin menguji seberapa berat perasaan yang menggema, seberapa keras rasa itu memukulku. Satu pertemuan meruntuhkan segalanya. Saya jatuh bahkan hanya dengan caramu menatap.

Ada yang perlu kamu catat, saya percaya lebih mudah menaklukanmu dengan kata-kata. Maksud saya bukan kalimat gombal atau bahkan modus. Saya yakin semua wanita tahu mana perkataan jujur dari mulut seorang pria atau yang sekadar untuk membuatnya merasa tenang sesaat. Mereka para wanita mempunyai semacam sonar pendeteksi bahkan sejak ia dilahirkan, mungkin karena naluri keibuan yang pada akhirnya mau atau tidak akan sepenuhnya melekat pada diri mereka.

Recitativo adalah sebuah kata bernoda yang akan terus saya tulis dalam kebisingan setelah kepergianmu. Saya hanya ingin bercerita tentang apa yang sudah kita lewati bersama, ini sudut pandangku, selamat menyelami penuh pikiranku, selamat terombang-ambing di sana. Selamat menempuh perjalanan membingunkan. Dan selamat karena kamu adalah bagian dari kisah ini.

Jumat, 11 Agustus 2017. Ingat pertemuan itu? Saya mencoba menebak apa yang ada dalam pikiranmu. Khususnya tentangku, tentang apa yang telah terjadi sebelum itu. Aku penasaran pada detik ketika kursi kayu kau sentuh dengan lembut, apa yang ada di pikiranmu. Apa yang terlintas melihatku duduk di depanmu. Saya sendiri lega, bisa menatapmu dalam kesunyian kedai itu. Detik itu juga rasanya saya sungguh ingin memelukmu, ingin sepenuhnya menerjemahkan semua apa yang kurasa selama hampir satu tahun.

Hari itu saya merasa tenang dan nyaman, meski kamu mengaku jantung berdebar tak karuan. Saya adalah jenis manusia lain, ketika saya merasakan ketenangan dan kenyamanan, itu seperti orang lain yang merasa dag dig dug, merasa pikirannya terpenuhi, merasa jantungnya hampir meledak.  

Saya tidak mengingat jelas percakapan apa yang terjadi di antara kita, yang kuingat hanya indah tatapmu, meneduhkannya suaramu, asiknya ceritamu. Sejujurnya saya sendiri takut jika pertemuan itu tak mengandung arti apa-apa. Seperti apa yang hendak kamu ceritakan sejak dulu, saya menunggu kamu memelukku hari itu, saya menunggu apa yang hendak kamu lakukan saat akhirnya pertemuan kita terjadi. Saya mencintai kamu. . . Bantu saya menerjemahkan perasaan ini.

- - - - -


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, August 18, 2017

Bagaimana Rasanya?


Pukul 11 malam, saya menulis ini karena saya merasa hina. Tak ada yang lebih menyakitkan ketika dirimu mampu mengobati rasa sakit seseorang, tapi kamu sendiri merasa butuh diobati. Kamu mampu membuat orang lain tidak memikirkan patah hatinya, tapi kamu sendiri masih terus merasakannya meski berulang kali terus mencoba lupa. Saya merasa hina. Saya merasa hina, saya merasa hina.

 Hina karena saya tidak mampu mengobati diri saya sendiri, hina karena saya tidak bisa menceritakan semua yang saya alami, saya hanya bisa menuliskannya dalam bentuk-bentuk abstrak berharap orang-orang latah yang hidupnya hapalan menangkap maksud saya. Kehinaan itu membuat saya selalu berpikir kenapa saya sampai sekarang masih hidup penuh siksa.

Kamu mungkin punya banyak pelarian, pelarian yang membuatmu merasa nyaman dan aman. Saya lupa, saya ini apa, mereka lupa, mereka alpa, mereka tidak peduli, siapa orang yang menemani mereka, selalu berlagak dan berperan menjadi orang baik untuk mengobati dan menyembuhkan luka hatinya, padahal di dalam diri berusaha meredam rasa sakit yang teramat dalam.

Apa yang bisa saya lakukan selain bermain-main dengan pikiran saya sendiri, sejujurnya saya membenci diri saya sendiri, melihat orang-orang bahagia dalam kesemuan yang terus-menerus diciptakan tanpa pandang bulu, berpura-pura. Menjadi bahagia padahal di dalam dirinya menyembunyikan perasaan yang lain. Saya benci situasi ini, saya berniat untuk tidak menemui siapa-siapa lagi, bahkan setelah ini.

Kesalahannya, saya terlalu peka untuk mendengarkan orang lain, saya terlalu mau menyembuhkan orang lain. Padahal saya pun tahu akhirnya akan seperti apa. Saya ini hina, untuk apa pada akhirnya saya terus diinjak, dilupakan, tidak lagi berjejak. Berjarak pada mereka semua yang jelas-jelas meminta untuk mendekat. Pelukan orang-orang itu tidak pernah ada guna, jika pelukan itu tidak menyentuh inti jiwamu

Saya sekarat, meski saya harus jujur, hanya media ini yang mampu menyelamatkan saya dari kematian, menyelamatkan saya dari percobaan bunuh diri sekali pun. Saya ini apa, hinakah saya menulis ini dan orang menganggap bahwa saya perlu dikasihani? BANGSAT!

Bahkan saya sudah merdeka sebelum kalian datang, sesudah kalian pergi. Tak sadarkah kalian? Kemerdekaan saya direnggut tanpa ampun. Terbelunggu sendiri. Bagaimana rasanya? Harus terus-menerus merasa seolah tak terjadi apa-apa. Orang yang menulis dua novel itu bukan saya. Itu saya yang sedang waras—sedang sehat. Lupakan saya, bahkan kematian saya pun tak ada yang ingin datang.

Biarkan saya terus-menerus menanam luka sendiri, mengingat setiap kenangan yang tak mengenakan, ini lebih dari patah hati, lebih dari sakit hati. Bahkan saya merasa tak lagi punya hati, pikiran saya mati, tubuh yang kecil ini, akan terus merasa kecil. Tidak ada lagi obat, saya telah mati bahkan sebelum kalian sadar.
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.