Thursday, September 28, 2017

Bahas #PengabdiSetan


Kunci berhasil dan menariknya film horror adalah ketika film itu mampu menciptakan atmosfer sekaligus membentuknya menjadi satu dalam kerangka film yang utuh secara organik. Film horror yang baik adalah film yang tidak sekadar menjual “setan” yang sudah dibentuk sedemikian rupa oleh tim make up / artistik, melainkan film horror yang dengan cerdik dan cerdas memberitahu penonton bahwa ada yang lebih seram dari “setan” itu sendiri.

Satu contoh sangat jelas diperlihatkan oleh Joko Anwar melalui reboot Pengabdi Setan. Film ini mengawali adegan dengan suasana yang manis, lewat gambar, dan warna film yang memanjakan mata. Lalu setelahnya film mulai membangun atmosfer yang seram dan menegangkan perlahan, tanpa tergesa-gesa, tanpa memaksa bernafsu untuk segera menunjukkan “setan” dan ketakutan. Pengabdi Setan benar-benar membuat kita sebagai penonton menunggu apa yang bakal terjadi setelahnya.

Pengabdi Setan adalah film horror yang kokoh—sangat kokoh! Dia tidak sekadar menjual ketakutan dari setan yang ada, ketakutan itu tercipta salah satunya melalui para tokohnya, yang membuat kita sebagai penonton percaya, bahwa mereka—para tokoh sudah hampir gila rasanya terus menerus diganggu. Ya, para tokoh bermain sangat apik. Mereka dapat mewakili pikiran-pikiran manusia sesuai dengan umurnya. Saking bagus dan menariknya film Pengabdi Setan ini, saya sampai tidak hapal betul siapa nama mereka semua. Saya sudah langsung jatuh cinta bahkan hanya dengan atmosfer film.

Joko Anwar memberikan sesuatu yang baru dalam karyanya yang satu ini, sentuhan baru yang seingat saya belum pernah ada di filmnya. “Motion”. Pergerakan Kamera “zoom in” yang sangat halus, seperti film-film lawas. Seperti diawal film saat kamera mengambil gambar tokoh ibu melalui cermin lemari lalu title “Pengabdi Setan” muncul dengan scoring yang mencekam. Seperti memberitahu penonton untuk bersiap, karena keseraman akan dimulai.

Saya berani mengatakan bahwa Pengabdi Setan adalah satu-satunya film horror Indonesia di dekade baru ini dengan ritme yang sangat sempurna. Penonton seperti “dikerjain”, membuat kita harus siap-siap dengan apa yang terjadi setelah itu, meski kadang apa yang kita tunggu ternyata bukan point dari scene tersebut. Tapi setelahnya tanpa diduga keseraman hadir kembali, sekaligus mencekam yang langsung membuat bulu kuduk berdiri—merinding.

Film ini sekaligus memanjakan penonton yang menyukai kedetailan dalam sebuah film. Tim artistiknya jago, tidak ada kealpaan sama sekali ataupun kesalahan artistik yang masih banyak kita temui dalam film-film di Indonesia, terkhusus film horror. Pengabdi Setan adalah sinema yang kita rindukan , setelah sekian lama industri ini dipenuhi film-film yang tidak berhasil memuaskan penontonnya.

Simbol-simbol dalam Pengabdi Setan juga bukan sekadar menjadi pelengkap film saja. Dia benar-benar menyatu secara organik, yang membuat saya seketika kagum, karena simbol-simbol itu ditempatkan pada tempat dan situasi yang pas dan tepat. Seperti lonceng yang digunakan ibu, lagu kelam malam, hingga Ian yang hampir sepanjang film menggunakan bahasa isyarat dan mampu membuat penontonnya tertawa setelah sebelumnya dihadirkan keseraman yang mencekam. Ian adalah “tameng” bagi penonton.

Dan seperti ciri khas Joko Anwar di setiap filmnya, ia selalu berhasil menanamkan pertanyaan pada setiap penontonnya setelah film selesai dan lampu bioskop dinyalakan. Tidak terkecuali Pengabdi Setan. Baru kali ini saya menonton film horror yang sesegera ingin saya akhiri karena armosfer seram sekaligus mencekam yang hadir sepanjang film. Bravo Joko!

#BanggaFilmIndonesia

-----



  



Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Monday, September 25, 2017

Recitativo #2


Aku menangis di malam pertamaku meninggalkan negeri dongeng, malam dimana aku menemukan sebuah melodi sempurna yang kucari seumur hidup. Bahkan dengan kesempurnaanmu dan segala kekuranganku tidak sanggup meruntuhkan batas antara keinginan dan realita bahwa kamu tetap tinggal dan aku harus pergi.

Aku sadar bahwa hari-hari setelah ini, tidak mudah untuk bilang rindu dan ingin bertemu. Pertemuan itu adalah hal yang akan menghantui hari-hariku di sini. Pertemuanku denganmu; tidak akan pernah kusesali—sampai kapan pun.

Jumat, 11 Agustus 2017, aku tidak berharap banyak hari itu. Aku memberanikan diri untuk memulai percakapan, mengajak bertemu karena aku tahu hati ini rindu pada sosok asing yang belum pernah kutemui.

Aku bahkan tidak mengerti apa yang kurasa. Aku tahu seberapa kencang jantung berdetak, memikirkan segala skenario terbaik untuk menutupi perasaan yang menggebu-gebu, memaksa agar pandanganku tidak melulu tertuju padamu.

Recitativo adalah sebuah kata bernoda yang terinspirasi oleh aroma kopi sore itu dan setumpuk kerinduan padamu. Dalam tulisan ini aku ingin mengabadikan kamu, dan semua pertemuan kita; segala kata-kata, baik yang terucap dan yang tidak terucap.  Tulisan ini terinspirasi dari mata cokelatmu dan rasa gugupku. Ia berhulu pada detak jantung yang saling beradu, dan segala perasaan yang bercampur menjadi satu.

Aku senang akhirnya bisa bertemu denganmu. Aku ingat, pada sebuah sore tahun lalu; aku berjanji, akan pulang musim panas nanti. Aku tidak habis pikir, kalimat itu selalu terngiang-ngiang. Aku selalu membayangkan, apa jadinya jika kita akhirnya bisa bertemu. Apakah satu pertemuan mampu mengubah hal yang seharusnya kita simpan sendiri?

Hatiku hangat, bahkan hanya dengan mengingat lekuk wajahmu, tarikan senyummu, tatapanmu, bahkan hanya dengan caramu menyebut namaku. Aku benci saat mengingat bahwa aku tidak bisa memberi apa-apa, harapan pun bahkan tidak. Aku tidak mengerti, sampai kapan perasaan ini akan terus tumbuh, dan kapan aku harus berhenti. Karena bagaimana pun kamu pantas mendapatkan hal yang  lebih baik dari apa yang aku punya.

Kamu itu layaknya mimpi, begitu sempurna, aku tidak sanggup menyimpanmu sendirian. Di tulisan ini, aku akan membagi seluruh perasaanku yang hampir tumpah. Jumat, 11 Agustus 2017, sampai kapan pun aku tidak akan pernah lupa hari itu. Hari di mana penantian panjangku menemukan ujung. Hari dimana aku akhirnya bisa menatapmu di kesunyian kedai itu.

Aku gugup, jantungku berdetak kencang, aku takut kamu mendengarnya. Kamu sebaliknya, terlihat tenang, bahkan pada tiap detik yang kita lalui tanpa saling cakap. Kamu bilang; kamu menikmati saat-saat itu. Saat kita berdua tidak tahu apa yang harus kita ucapkan. Saat detik berganti menit berlangsung dalam kesunyian.

Aku  bercerita tentang apapun yang bisa kuceritakan. Kadang, rasa bersalah itu masih terasa berat, bagaimana aku menutup portal imajinasi yang ada di antara kita, dan meninggalkanmu di seberang sana—sendirian.  Aku berusaha menyembunyikan seluruh perasaanku, takut kalau-kalau kamu sudah menutup hatimu untukku. Bagaimana pun, aku harus menjaga diriku sendiri.

Aku menebak-nebak, apa yang ada dipikiranmu saat pertama kali melihatku? Masih adakah aku dalam gema dadamu? Masihkah debaran jantungmu tertuju padaku? Masihkah kamu menunggu? Satu tahun bukanlah waktu yang singkat. Aku mengerti jika kamu sudah menutup pintu. Aku tersenyum dan berusaha terlihat ceria. Terbesit di pikiranku untuk memelukmu, menumpahkan semuanya.


Setiap aroma kopi mengingatkanku padamu. Bagaimana kamu menyentuh lembut tanganku, bagaimana hangatnya hatiku,  diselimuti dengan sejuta kenangan manis. Empat puluh tiga hari tidak cukup  untuk memuaskan hati ini, untuk menikmati setiap debaran jantung kala bertemu denganmu. Perasaanku tumpah, aku kalah. Aku menginginkanmu, apa yang harus aku lakukan untuk bisa ada di sampingmu?

-----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, September 3, 2017

Post Card From Me.


"Bahkan saat saya mengumumkan ingin bunuh diri, saya yakin kamu tidak akan peduli."

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.