Thursday, October 26, 2017

Poetica-Postmodernism dalam #FilmPosesif


Sebuah metafor dalam kajian film adalah betuk semiologi yang bisa membuat penontonnya mengingat film tersebut setelah filmnya usai. Bagi saya ada perbedaan jelas antara film dan konsep bahasa. Film bukan sekadar bahasa gambar, lebih dari itu ia menjadi objek yang berdiri sendiri. Film dalam perkembangannya menjadi bahasa tunggal semiologi. Yang dapat kita tarik kesimpulan bahwa film yang baik adalah film yang membuat penontonnya berpikir dua kali dalam menerjemahkan isi gambar bahkan setelah ke luar dari ruang teater.

Simbolisme-simbolisme seperti itu erat kaitannya dengan sutradara, karena ia punya ruang lebih luas untuk menentukan apa saja yang perlu masuk dalam sebuah gambar atau frame. Simbolisme atau detail-detail semiotik harus menjadi satu alias menempel pada sutradara, karena hal semacam itu punya kaitan dalam penyampaian maksud gambar di luar dialog antar tokoh.

Simbolisme merupakan semacam isyarat yang bisa dibilang sulit untuk dibicarakan. Kita tidak bisa mengubah isyarat-isyarat dalam film ke dalam bentuk sistem bahasa. Contoh; dalam Film Posesif sebuah kunci yang menggantung di pintu bisa diartikan berbagai macam, apalagi jika sutradara sengaja menahan gambar itu lebih dari 5 detik. Kunci yang mengunci sebuah pintu juga erat kaitannya pada perasaan tokoh saat itu juga.

Kekuatan film tidak mampu kita bedakan atau bahkan kita bandingkan pada sistem-sistem bahasa, ia sudah kuat untuk berdiri sendiri. Meski pun film memang punya kaitan terhadap bahasa. Namun perbedaannya ada pada imaji tiap penontonnya, terjemahan pada sebuah simbol di dalam frame bisa berbeda dari masing-masing orang. Ada yang menganggap contoh yang saya berikan sebagai bentuk yang biasa, ada juga yang lebih dalam mendalami perspektif tersebut.

Film Posesif memberikan gambaran kontruksi lain dalam sebuah film, ia memberikan imaji seolah-olah ia hanya memberikan satu frame saja sepanjang film. Kita terpaut pada dua tokoh utamanya—selalu terpaut. Ikut merasa empati bagaimana bisa perasaan mereka terbentur dan menjadi satu. Dalam satu frame kedua tokoh ini sanggup memberikan aura yang bukan hanya baik tapi menyentuh kedalaman imaji dan membantu membentuk kontruksi gambar yang baik.

Film Posesif adalah film yang sulit dijelaskan, karena ia mudah dimengerti. Seperti kata Christian Metz “Sinema, seni yang mudah, selalu terancam menjadi korban karena kemudahannya… Sebuah film sulit dijelaskan, karena ia mudah dimengerti.” Film Posesif memberikan dan membuka bahasa lain, ia merasuki imaji kita dengan simbol-simbol yang tanpa sadar kita proses dalam ruang pikir kita. Kenapa simbol paus dan penguin disandingkan? Mungkin karena itu memang hewan yang paling tepat untuk menjadi isyarat tokoh Yudhis dan Lala. Seperti ingin memberitahu kita bahwa dua isyarat itu adalah bentuk manifestasi karakter lain.

Pengambilan gambar jelas butuh waktu, begitu juga penontonnya yang butuh waktu extra untuk menerjemahkan imaji-imaji yang ada dalam satu frame yang ditampilkan. Tapi bagaimana jika sebuah film mampu memberikan pendekatan tunggal dalam satu frame? Film Posesif memberikan itu sejak awal film, ia hadir dalam bentuk dua tokoh yang “gila”, dengan kata lain Posesif adalah Yudhis dan Lala. Ia menjadi ketertarikan tunggal untuk setiap penontonnya. Tidak salah untuk menempatkan Putri Marino dan Adipati Dolken menjadi kemungkinan pertama untuk meraih penghargaan aktor dan aktris di Festival Film Indonesia.

Film ini menjadi sangat lengkap dengan kehadiran banyak tokoh pendukung. Cut Mini & Yayu Unru benar-benar menjadi tokoh yang "mendukung" performa tokoh utama. Cut Mini membantu Yudhis, dan Yayu Unru membantu Lala dalam mencapai puncak “kegilaan akting,” Mereka tidak sekadar menjadi “pembantu” yang ke luar sekelabat lalu hilang dilupakan dan tidak bermakna. Ia dengan sendirinya merasuki pikiran tokoh utama dan “mendukung” mereka untuk menjadi spotlight dan mencapai puncak performa. Yayu Unru dan Cut Mini adalah “hero” yang harus saya katakan sangat mungkin mendapatkan penghargaan itu di Festival Film Indonesia.

Maksud dibuatnya simbolisme dalam sebuah film adalah untuk membuat film menjadi lebih berarti dan terus diingat. Meskipun hal ini akan luput dari orang-orang normal yang pergi ke bioskop hanya untuk dihibur atau menemani seseorang nonton. Lebih dari itu, saya sendiri merasa film ini memberikan kesan yang mendalam, Edwin—Sang Sutradara selalu berhasil “meninggalkan jejak” di setiap filmnya. Kepekaan itu membuat Film Posesif menjadi berbobot meskipun memang film ini berlabel 13+, dalam kepekaan simbolisme itu membuat bobot artistiknya otomatis bertambah nilai.

Poetica-Postmodernism dalam Film Posesif membuatnya masuk dalam jajaran drama (romance) terbaik yang pernah ada di Indonesia. Bravo!

#BanggaFilmIndonesia
#FilmPosesif



Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Monday, October 23, 2017

Jakarta dari Jendela Kereta


Melihat Jakarta dari jendela kereta

Berat hati harus kubilang:
Saatnya kembali ke kota penuh keterasingan

kota di mana orang-orang sakit berkeliaran di jalanan

Mari mengadu ingatan di berita utama koran

Jakarta, 23 Oktober 2017

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, October 22, 2017

Theia: Tentang Kota dan Pikirannya


Malam itu aku terpaut di ruang tunggu stasiun, aku duduk pada sebuah bangku dengan bantalan berwarna merah di sudut kanan pintu masuk peron. Seorang wanita gelisah, earphone putih menempel di telinganya. Matanya terus tertuju pada layer ponsel, sesekali aku bisa menangkap sorot matanya, seperti ada yang diambil dari dalam diri, kantung matanya memerah, ada tangis yang baru saja mendiami sisi itu. Wanita itu menatapku.

Aku balas tersenyum, ada perasaan yang ikut diselimuti saat pandang mata itu jatuh tepat pada sepasang mataku, senyumnya berubah saat ia menatapku untuk kedua kalinya, ada keriangan di sana, aku melihat ia seperti menemukan pergolakan baru yang lebih membuatnya merasa ada dan dihargai. Wanita itu bangkit berdiri, ia merapikan bawaannya lalu melangkah—menghampiriku. Jantungku berdebar, ia terus tersenyum dalam langkahnya itu.

“Can i…” tanya wanita itu persis di depanku.

“Boleh,” balasku tersenyum.

“Thankyou,” wanita itu duduk tepat di sampingku, ia meletakkan barang-barangnya di bangku samping kanannya. Aku terdiam melihatnya merapikan barang bawaan yang sedikit banyak, satu koper dan tas, dengan beberapa kantung plastik—aku tidak tahu apa yang ada di dalamnya.

“Theia,” ia mengulurkan tangannya—aku membalas singkat.

“Zahid,” senyumku.

“Theia or Thea?” tanyaku, kesulitan mengeja.

“Theia. Pake i setelah e sebelum a,” ia membenarkan letak duduknya—menatapku serius.

“Achso…”

“Achso?”

“Achso itu maksudnya ‘Ohgitu’ dalam bahasa Jerman.”

“Achso,” Theia tersenyum menggangguk.

“Jadi penuh Achso kita… Eh btw, Theia itu apa artinya?”

“Wah panjang nih kalo dijelasin, ada kaitannya sama astronomi… Jadi gini, ada yang namanya, hipotesis tubrukan besar, artinya gini… Bulan terbentuk dari puing-puing yang tersisa dari tubrukan antara Bumi dan benda seukuran planet Mars, sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu. Nah, objek yang menabrak bumi itu sering disebut Theia. Nama Theia diambil dari mitos Titan Yunani, Theia itu ibu dari Selene, dewi Bulan,” aku terperanga mendengar penjelasannya.

“Oke…” kataku mengangguk pelan.

“Rumit kan?”

“Enggak kok, nama yang indah. Cocok—sesuai sama orangnya.”

“Gombal nih?”

“Enggak dong. Buat apa? Serius itu…”

“Oke oke, kalo namamu?”

“Hmm Zahid… Kalo dalam KBBI sih artinya ‘orang yang telah meninggalkan kehidupan yang ada hubungannya dengan keduniaan’.”

“Widih aku dari Yunani, kamu arab,” Theia menggoda.

“Maknanya tuh, hidup hanya untuk beribadah, bertapa, dan sebagainya. Nggak ada urusan lagi sama kehidupan dunia.”

“Asik, berat banget namamu…” Theia masih menatapku.

“Iya sekarang udah satu ton,” ada tawa yang lepas di antara kami.

Keretaku masih beberapa jam lagi, bayang-bayang malam telah sepenuhnya pergi. Ini dini hari yang dinginnya menusuk hingga ke tulang. Aku dengan flannel biru yang ditekuk masih merasa kedinginan. Theia memakai jaket merah tebal, ia tampak santai—merasa hangat, meski aku terus berusaha lepas dari dinginnya ruang tunggu itu.

Suara-suara kereta berlalu-lalang, pengumuman keberangkatan dan petugas kebersihan yang mondar-mandir jadi pemadangan yang kami lihat bersama. Setelah satu kereta pergi ruang tunggu menjadi sepi. Beberapa menit setelah itu keramaian datang lagi, mereka menunggu keberangkatan kereta selanjutnya.

“Kamu mau ke mana?” Theia memecah keheningan.

“Jakarta,” kataku singkat, sengaja tidak bertanya balik—aku tidak terlalu ingin mengetahui urusan orang lain.

“Mau ngapain?”

“Main-main aja.”

“Aku juga Jakarta, cuma bedanya ini aku balik,” Theia berusaha mencairkan suasana.

“Ohiya? Gimana Semarang? Menyenangkan?” tanyaku pensaran.

“Ya begitulah… Aku nggak menemukan apa-apa di sini, itu yang perlu aku catat. Kota ini nggak memuaskanku. Seperti ada yang hilang dari kota ini, entah apa. Aku juga kurang paham, biasanya aku selalu bisa merasakan koneksi setiap aku ada di sebuah kota yang aku datangi. Tapi di Semarang, perasaan itu hilang, aku kesulitan menerjemahkan perasaan aneh ini… Mungkin kamu bisa bantu?”

“Perasaan kita sama, kota ini dipenuhi orang-orang sakit—kasihan. Mereka tidak tahu kalo dirinya tidak tahu, seluruh sudut kota mulai diwarnai pelangi, sejak ada kampung itu. Rasanya seperti seisi kota punya penyakit latah. Kelatahan-kelatahan itu tidak disadari sebagai sebuah penyakit yang nantinya bikin orang-orang alpa bahwa kebahagiaan mereka itu imitasi, cuma sementara. Bahagia mereka cuma dipermukaan bukan di dalam pikiran—di dalam hati.”

“I know… Itu yang juga aku pikirkan sejak sampai kota ini. Ya tapi gimana, mengubah masyarakat sama sulitnya memahami kenapa tuhan gak mau ngomong padahal dia tahu dia bisa… Kamu sendiri gimana?”

“Apanya?” tanyaku memastikan.

“Kenapa masih hidup di kota ini?”

“Kota ini butuh seorang revolusioner, ia harus berada di tengah-tengah masyarakat—mengubah pola pikir dan cara bersikap… Ini penting, karena kota ini akan terus tertinggal kalo masyarakatnya bingung, mana kemajuan besar, kita ini sedang jalan di tempat tapi dibungkus sama pencitraan pemimpinnya, terlihat seolah kemajuan besar.”

“Tapi, pencitraan kan penting.”

“Iya, tapi mau sampai kapan?”


Theia terdiam, ia hanya tersenyum menatapku. Sampai suara pengumuman dari pihak stasiun—kereta telah tiba. Kami bangkit bersama, melangkah menuju pintu pemeriksaan tiket. Tiba-tiba Theia memegang tanganku, mengelusnya lembut. Aku tersenyum melihat matanya yang cerah—berkaca-kaca. Ia jatuh terlalu dalam pada percakapan itu. Dan aku hanya menanggapinya biasa. 

----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, October 10, 2017

Recitativo #3


Ada dua hal yang ingin kuceritakan tentang apa yang terjadi semalam. Dua hal yang memberikan saya perspektif lain soal wanita, tentang bagaimana jalan pikiran mereka, tentang bagaimana seharusnya saya bisa bijak menyikapinya. Apakah kamu percaya, saya baru saja menyakiti perasaan seorang wanita. Entah dalam kesadaran atau tidak. Saya menyesal, karena menyakiti perasaan seorang wanita adalah hal yang paling saya hindari setelah semua yang sudah dilalui.

Masalah pertama sebetulnya sepele, bahkan agaknya tidak bisa disebut sebuah masalah. Kata-kataku menyakiti seorang wanita, membuatnya harus merespon dengan sesuatu yang sebetulnya tidak perlu. Aku memang sedikit memberi jarak pada semua wanita yang kukenal, saya tidak ingin ada jauh di dalam hidup atau pikiran mereka. Tapi bodohnya itu yang saya lakukan semalam. Membunuh kebaikan seorang wanita hanya dengan sebuah kalimat yang tidak perlu kuucapkan.

Saya harus meminta maaf, itu yang terbesit pertama kali dalam pikiran setelah tahu respon wanita itu. Tidak ada pikiran lain, ini salah saya—tidak mampu menerjemahkan ekspresi seseorang. Di dalam bilik ponsel, suaranya mengartikan dua hal; suara seseorang yang malas mendengar apa pun dariku atau suara seorang wanita yang sedang merasa kelelahan karena begitu banyaknya masalah yang ia hadapi.

Tapi saya cukup senang, wanita itu dengan lapang dada menerima permintaan maafku. Saya punya pengalaman tentang berbuat kesalahan pada seorang wanita di masa lalu, yang membuatku sampai saat ini tidak lagi mampu berbicara dengannya bahkan hanya untuk saling tatap. Ini berat, karena menyakiti perasaan adalah hal paling rendah yang mampu dilakukan seorang manusia. Tapi untuk memulihkan perasaan sakit itu tentu butuh waktu.

Lalu masalah kedua, dalam kesedihanku ada rasanya saya ingin tertawa. Tawa kebodohan setelah berulang kali berpikir tentang apa yang terjadi. Semalam saya memimpikan kamu… Lagi. Hal yang dalam doaku selalu ingin kuhindari, mimpi selalu memberikan saya sudut pandang lain tentang kehidupan. Mimpi seperti dimensi lain yang berdiri sendiri, memiliki waktu dan ruang pandang yang berbeda.

Biasanya saya tidak pernah mampu melihat wajah seseorang dalam setiap mimpi malamku. Tapi kali ini, mimpi itu terasa jelas, saya menerima pesanmu. Apa yang ingin kamu katakan namun tidak sanggup bibir itu bersuara. Kenapa? Apakah kamu sedang ragu? Ya, mungkin kamu sedang meragu. Hal yang sudah kurasakan sejak dulu. Saya memimpikanmu dalam durasi waktu yang cukup lama, saya melihat kamu memeluk kekasihmu, sambil berucap di depanku; “Apa yang terjadi di antara kita adalah sebuah kesalahan besar.”

Ya memang benar! Itu yang juga ingin kuucapkan sejak lama. Inti dalam mimpi itu adalah tentang bagaimana kamu ingin mengucapkan selamat tinggal… Sekali lagi. Setelah pertengkaran hebat yang pernah kita lalui dan setelah kamu meninggalkanku karena rasa bersalahmu. Saya menunggu saat-saat ini, saat di mana perasaan sepenuhnya hancur berkeping. Saat di mana bahkan saya sendiri tidak lagi mau menatanya ulang—kembali menjadi perasaan yang utuh.

Yaa, bagaimana pun, saya hanya penulis yang hanya mampu menerjemahkan perasaan lewat kata-kata, dan mungkin nanti kata-kataku telah kehilangan nyawa. Ia kehilangan napasnya sendiri. Tapi  apa yang telah saya lalu di dunia sebelum ini bersamamu adalah keindahan lain saat semesta sepenuhnya berpihak. “You give me dejavu.” Sialnya begitu.

Ini yang membuat saya semakin yakin, hidup menyendiri jauh dari orang-orang adalah pilihan tepat. Saya telah lelah—menyerah dengan janji-janji yang diucapkan manusia. Mereka selalu mengulangi kesalahan yang sama. Sadar atau mungkin tidak kita seringkali menyakiti perasaan orang lain. Kita tahu tapi kita tidak peduli. Maafkan saya jika setelah ini saya menghilang—berubah dalam wujud yang lain.


----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.